RELIGIOUSITAS DAN IDEOLOGI DARI SOEHARTO KE GUS DUR (1966-2000)
ANALISIS
TERHADAP RELIGIOUSITAS DAN
IDEOLOGI
DARI SOEHARTO KE GUS DUR (1966-2000)
Oleh Shofwan Karim[1]
Abstract
Religiousity and ideological
development of Indonesian Muslim to both regimes of Soeharto and Abdurrahaman
Wahid or Gus Dur, expressively, to some extend has similarity and distincty. What so called
guided democracy in the Soekarno administration were consist of three pillars
national backbone. Those were nasionalism, religion of traditionalist faction,
and communism in 1959-1965. In the other hand when Soeharto came to power, he
built a strong system wich he called as the democracy of Pancasila . This authoritarian rule base on
those were military,
technocracy-bereucracy and Golkar Party.
Furthermore, never before last October's 1999
election has the presidency gone to Abdurrahman Wahid a cleric and a leader of
a large Muslim organization Nahdhatul Ulama.
And yet, instead of trying to boost Islam's influence, President Gus Dur
has flatly rejected calls to impose Islamic law. He is repealing laws that
discriminate againts non-Muslim groups, including a 1969 statute that requires
them to obtain special permits to build churches and temples.
As Wahid said, "it is not
fair that Muslims protes the construction of
other places of worship while there are hundreds of thousands of mosques
built without any permits," he ever told a gathering of cummunity leaders
and women's group a few months ago. And in February 2000, he allowed Indonesia's ethnic chinese
minority to celebrate Chinese New Year in public for the first time since 1965,
when they were blamed for a bloody communist
coup attempt.
Although Wahid presents the
sweet face of Islam, his authority back up by what so called as islamic
traditionalist, nasionalist secular, non-govermental aktivist, and limited
elites of military faction . Wahid encourages state and national policies bas
on secularism, pluralism, and humanism.
Contradiction like this color religious life in the wolrd's most populous
Muslim country, where the president
Abrurrahaman Wahid, a Muslim cleric who
is stuggling to keep religion and state apart and to foster democracy and
tolerance after decades of authoritarian rule.
Furthermore, this asrticle focusing on Soeharto and Gus Dur political
policies for relgiousity and ideological phenomenon in Indonesia wich its run
in 1966-2000.
Pendahuluan
Mohammad Natsir dalam pidatonya pada sidang
pleno Konstituante, 12 November 1957 berkata: “Pilihan orang dipersimpangan
jalan: Apakah akan meneruskan sekularisme dengan segala akibat-akibatnya,
ataukah akan kembali kepada tuntutan Ilahi, sehingga akan terbuktilah firman
Tuhan:
سنريهم ايتنا فى
الافاق وفى انفسهم حتى يتبين لهم انه الحق اولم
يكف بربك انه على كل شيء شهيد (فصلت53)
Akan Kami
perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di seluruh jagat dan dalam
diri mereka sendiri, sehingga menjadi teranglah bagi mereka yang hak. Dan
apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu ?” (Natsir, 1989)
Setelah 43 tahun, pernyataan ini agaknya masih relevan untuk menganilisis
situasi dan kondisi keberagamaan (religiusitas) dan ideologi umat Islam
Indonesia dari era Suharto ke Gus Dur dewasa ini . Situasi dan kondisi itu
hampir-hampir sama antara zaman Orla
Sukarno, Orba Suharto dan reformasi Gus Dur. Yang pertama
disebut era Demokrasi Terpimpin dengan tritunggal pendulum kekuasaan di tangan
Nasional Agama Komunis (Nasakom) tahun 1959-1965. Yang kedua,
disebut era Demokrasi Pancasila dengan tritunggal ABRI,
Teknokrat-Birokrat dan GOLKAR sebagai pendulumnya. Yang ketiga Demokrasi
Liberal Gus Dur dengan dukungan tradisional Islam, LSM, dan ABRI. ditopang
pemikiran sekularisme, pluralisme dan humanisme a la Gus Dur.
Bedanya di zaman Demokrasi Terpimpin, kekuatan
ideologi pendukung utama adalah
nasionalis-sekuler barisan Sukarno, Islam tradisonal (NU dan kelompok Islam
akomodatif) serta komunisme-atheistik. Sementara itu kekuatan ideologi pendukung Suharto adalah
Pancasila yang sekularistik, sosialisme dan Islam kultural dalam wujud Islam
modernis-pragmatis-akomodatif.
Berikutnya bergulir benih reformasi: keterbukaan,
demokratisasi, penghargaan terhadap HAM dan Lingkungan hidup yang menjadi
ideologi global akhir 80-an. Bersamaan dengan itu, runtuhnya Sovyet dan tembok
Berlin 1989-1990 turut mempengaruhi Indonesia
dan pada gilirannya berpuncak
pada tergulingnya Suharto 21 Mei 1998. Semua itu meninggalkan
pertanyaan: apakah situasi dan kondisi religiositas dan ideologi umat
Islam Indonesia turut berubah ? Pada SI
MPR Oktober 1999, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI. Bagaimana dituasi
kehidupan beragama dan idelogi umat Islam dewasa ini ?.Uraian berikut mencoba
menganalisis keadaan itu dengan
membatasinya kepada situasi religiousitas (keberagaman) dan ideologis
1966-2000 yang terbagi kepada era Suharto
implisit Habibie dan Era Gus Dur
12 bulan ini serta implikasinya ke masa
depan.
Syi’ar, Simbolistik dan Deidelogisasi
Islam
Zaman Suharto 1966-1998 (32 th) dilihat dari
perspektif religiousitas dan ideologi
dapat dipilah kepada dua corak. Pertama,
simbolistik-ritualistik. Syi’ar dan simbol-simbol agama yang tidak berdampak
ideologis dihidup-suburkan. Yang dimaksud dengan syi’ar di sini adalah kegiatan
seremonial yang mengatas-namakan agama (baca: Islam). Musabaqah Tilawatil
Qur'an (MTQ) tk. Nasional diadakan sejak 1967 dan berlanjut bahkan sampai
sekarang. Pelaksanaan ibadah haji setiap tahun disempurnakan serta jumlah
jama'ah haji itu terus meningkat. Semua urusan sepenuhnya ditangani oleh
pemerintah melalui Depag.
Terhadap kedua hal itu di sana-sini sudah muncul
kritik. MTQ misalnya, dianggap hanya menghambur-hamburkan uang, sementara isi
dan pesan al-Quran yang hakiki diabaikan. Apabila uang MTQ itu digunakan untuk
pembinaan pendidikan islam maka uang itu akan sangat bermanfaat. Begitu pula
terhadap penyelengaraan haji. Biayanya sangat mahal. Masyarakat Islam tidak bisa
berbuat apa-apa karena sudah menjadi monopoli pemerintah. Pemerintah membodohi
sebagian besar kaum muslimin kelas bawah yang tidak paham mengurus
transportasi, akomodasi, hotel danm kesehatan. Biaya ONH Indonesia adalah yang
termahal di dunia. Bandingkan dengan Malaysia yang mampu memberikan
pelayanan lebih kepada jamaah hajinya
dengan bayaran antara separoh hingga tiga perempat biaya haji dari Indonesia.[2]
Sebagian ONH
itu rupanya dikumpulkan ke dana abadi yang dikelola Depag untuk
(katanya) kepentingan umat Islam. Di luar itu, diperkirakan jauh lebih besar,
telah masuk ke kantong kelompok dan
orang tertentu yang terkait dengan bisnis tersebut yang pada umumnya berbau
keluarga istana. Walaupun Suharto banyak membantu kegiatan yang bersyi’ar Islam
dan simbolik islami seperti membangun masjid Yayasan Amal Muslim Pancasila[3],
mengirim mubaligh, membantu panti asuhan dan sebagainya, tetapi karena
masyarakat tidak tahu secara transparan dari mana uang itu dan bagaimana
pertanggungjawabannya, maka tidak semua umat Islam, terutama pemimpin dan ulama
yang kritis menganggap apa yang dilakukan Suharto sudah memenuhi harapan
sebagai sesuatu yang islami. Dan
pengadilan Suharto yang kontroversial baru-baru ini adalah antara lain atas
tidak jelasnya pertangungjawabannya terhadap keuangan yayasan-yayasan tersebut.
Kedua, untuk hal-hal yang bersifat dan berdampak ideologis serta
untuk kategori tertentu pelaksanaan syariat Islam, Suharto nampak menjalankan
kebijakan ganda. Di satu masa menekan habis-habisan, di masa lain mulai membuka
jalan. Penekanan habis-habisan terjadi dalam kurun 1966-1985, ketika ideologi Pancasila
dipaksakan. Pada tahun 1966-1967
Mohammad Natsir (1908-1993) dan
Mohammad Rum (1908-1983) serta
pemimpin-pemimpin Masyumi ingin
merehabilitasi Partai Masyumi yang dibubarkan Sukarno tahun 1960. Maksud
tersebut ditolak Suharto. Sebagai gantinya Suharto hanya membolehkan mendirikan
Parmusi dengan syarat tidak ada bekas pemimpin Masyumi yang duduk di dalamnya.
Ketika Mohammad Hatta akan mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia tahun
1966, juga ditolak oleh Suharto (Deliar Noer, 1999).
Pragmatisme-Ideologis
Pada masa ini cendekiawan muda di bawah angkatan Natsir dan Rum yang
sedang gandrung dengan pragmatisme-ideologis melihat kemunduran umat islam Indonesia di
masa lalu lantaran umat Islam terlalu
formalistik dan simbolistik dalam mengartikulasikan politik dan ideologi
Islam [4].
Secara umum yang dimaksud dengan ideologi ialah pemikiran yang sistematis
mengenai susunan suatu masyarakat sesuai dengan nilai absolut-moral, agama,
sejarah dan sebagainya; ia mengandung pengertian dan dasar-dasar keteraturan
peranan politik, juga mendasari, mempromosikan serta mendukung suatu kekuasaan
(Dahl, 1963:20). Apabila ideologi itu hanya digunakan untuk keperluan kekuasaan
atau mendukung kekuasaan dan tidak berdasarkan agama, maka oleh sebagian besar
kalanga di Indonesia diangap sebagai pragmatisme-ideologis atau ideologi semu.
Keadaan itu
menjadi subur ketika kaum muda Islam waktu itu ikut mendorong deideologisasi
Islam. Hal itu tergambar antara lain di dalam laporan media massa pada tahun
1970-an yang memuat kalimat Nurcholish
Madjid, “Islam yes, partai Islam , No. !” Secara
langsung atau tidak Suharto tentulah sangat suka dengan jargon tesebut. Dengan
jargon itu, niscaya ia merasa deideologisasi Islam dan depolitasasi islam yang
dilakukannya menjadi lancar. Wacana islam dan kenegaraan kurun waktuini diramaikan dengan penekanan pentingnya
pendekatan substantivistik (isi-nilai-hakiki) Islam . Oleh kalangan cendekiawan
muslim tetentu, hal itu diartikan sebagai gerakan Islam kultural dan bukan
gerakan struktural. Artinya Islam harus muncul dari perilaku dan implementasi
budaya. Islam pada tataran etika bukan struktur dan kekuasan politik. Serentak
dengan itu oleh Madjid dan kawan-kawan telah dicanangkan
keharusan pembaharuan pemikiran islam dengan tema sekularisasi sosiologis dan
desakralisasi simbol-simbol keislaman. Hal itu mendapat tantangan juga dari
yang senior, antara lain H.M Rasyidi.
Bagi Rasjidi, sekularisme dan sekularisasi baik filosofis maupun
sosiologis sama saja(Rasjidi, 1977,13-14).
Pemikiran
sekularisasi sosiologis[5],
deideologisasi dan depolitisasi Islam itu mencapai puncaknya ketika muncul
pernyataan: “tidak ada
negara Islam” . Tentu saja
bagi kalangan tertentu yang paham
sejarah pemikiran Islam, pendapat demikian bukanlah hal baru. Namun tak ayal
pendapat kalangan muda itu mendapat tantangan dari kaum senioren islam
Indonesia lainnya. Mewakili penolakan golongan senior itu dapat dilacak kepada pernyataan Mohammad Rum: “Jangan Main-main dengan istilah Negara Islam “
dan juga ia mengatakan, “Bagi Saya, Islam ? Yes. Partai Islam juga Yes’. (Agus Edi
Santoso, 1997: 88).
Pada tataran strukturali Suharto berhasil menekan Islam politik . Antara lain melakukan restrukturisasi organisasi politik dengan
fusi 9 parpol menjadi 2 Parpol dan 1 GOLKAR pada tahun 1973. Di antara parpol
hasil fusi itu adalah PPP yang berasal dari Parmusi, NU, PSII, dan Perti yang dianggap
poros Islam diubah menjadi poros persatuan. Pihak lain adalah PDI yang berasal
dari Parkindo, Partai Katholik, PNI, Murba dan IPKI yang menjadi poros
nasionalis diubah kepada simbol demokrasi. Lalu, GOLKAR yang dianggap kelompok kekaryaan, kaum profesi, fungsional, teknokrat, birokrat dan
tentu saja keluarga besar ABRI. Golkar dalam anggaran dasarnya hanya
mencantumkan Pancasila sebagai asas. Dua parpol di atas, PPP dan PDI masih meletakkan dasar Islam dan nasionalisme dalam anggaran
dasarnya di samping Pancasila.
Kejayaan Suharto pada era 1970-an terbantu oleh
ekonomi dan keamanan yang secara semu dianggap stabil. Gesekan antar suku, agama dan ras
(SARA) secara represif ditekan sedemikian rupa. Sehingga juru dakwah dan
muballigh tidak bebas menyampaikan dakwah dan tablighnya. Mereka
diharuskan meminta izin untuk daerah dan
waktu tertentu di Indonesia. Khutbah-khutbah Jum’at yang keras selalu dicatat
intelijen negara atau ABRI. Paling tidak bila terjadi kerusuhan maka yang
dianggap suka bicara keras, segera dapat diamankan atau diciduk petugas.
Seminar, dikusi, dan segala bentuk pertemuan yang melibatkan massa banyak harus
ada izin khusus dari pemerintah setempat maupun Polri. Keadaan ini terasa ketat
sampai tahun 1985 dan longgar sesudahnya.
Suharto berhasil memecahbelah pemimpin umat dan ulama. Antara sesama
pemimpin dan ulama saling curiga. Ada ulama pemerintah dan ada ulama bebas.
Mereka yang kritis disingkirkan, mereka yang akomodatif dibantu untuk
mengembangkan organisasin atau lembaga yang dipimpinnya. Tokoh semacam ini diberi kedudukan, penghargaan serta fasilitas.
Sehingga ulama-ulama itu terutama yang mampu direkrut GOLKAR, serta untuk kasus
tertentu juga PPP dan PDI menjadi jinak terhadap kemauan Suharto. Bahkan di
antaranya siap menjadi mesin pemenangan Pemilu partai-partai tertentu , seperti
antara lain GUPPI, Tarbiyah, MDI, Satkar Ulama untuk GOLKAR dan Jamiaatul
Muslimin untuk PDI dan Persatuan Ulama Ka’bah untuk PPP (Heru Cahyono, 1992).
Antara 1971-1980 kerap terjadi ketegangan antara umat
Islam dan pemerintah Suharto seperti ketika kasus pengesahan UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974. Ketegangan serupa terjadi pula ketika masuknya aliran kepercayaan
dan doktrin Ekaprasetiapancakarsa
Pancasila dalam GBHN 1978 . Walaupun demikian, keberagamaan bersifat
ritualisitik, syi’ar dan simbolistik umat Islam tidak terusik. Sekali-sekali di
masa ini terdapat ketegangan antara umat Islam dan kaum nasrani. Namun Suharto
dengan pendekatan keamanannya yang
represif tetap kokoh. Dengan
konsep tri kerukunan hidup umat beragama[6]
yang pelaksanaanya sangat birokratis dan formal itu, dapat mengeliminir dan
meredam konflik horisontal dalam masyarakat. Begitu pula ketegangan ideologis
yang terkesan sengaja disponsori oleh orang-orang Suharto seperti
dihembuskannya isu negara Islam, komando
jihad, kelompok Imran, Warsidi dan beberapa kasus yang terjadi di akhir 1970-an
dan awal 1980-an, dengan enteng telah diamankan Suharto. Puncaknya tentulah
kasus Periok tahun 1984, ratusan umat Islam dibabat.
Keadaan itu
sedikit berubah. Babak baru politik Islam Suharto bergeser pertengahan atau akhir 80-an.Dengan tuntasnya penerimaan Pancasila
sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
maka tuntaslah tugas Suharto menjadikan Indonesia sebagai negara sekular penuh.
UU No. 5 dan No. 8 tahun 1985 yang mewajibkan Parpol dan Ormas berasas tunggal
tanpa embel-embel lain, diterima oleh NU pada mulanya. Berikutnya semua ormas
Islam menerimanya dengan formulasi yang berbeda-beda, namun kata asas tetap
hanya Pancasila.[7]
Kemudian secara selektif kebijakan politik negara terhadap aspirasi Islam
diperlonggar. Bahkan untuk hal-hal tertentu seakan dibantu. Keadaan ini nampak
dengan dihapuskannya Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) yang dianggap
kalangan Islam sebagai judi. Tentu saja penghapusan itu karena diiringi pula
oleh demonstrasi oleh generasi muda Islam menolak SDSB di mana-mana. Begitu
pula dibolehkannya siswi, pelajar wanita
dan mahasiswi serta wanita-wanita muslimah memakai jilbab di sekolah atau di
tempat kerja mereka. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
berdirinya ICMI dengan dukungan kuat pemerintah, lahirnya Bank Muamalat dan
Bank Syari’at, dan lain-lain, semuanya dianggap sebagai berubahnya politik
Islam Suharto.
Keadaan itu
semua berlaku antara 1985-1998. Hal itu
tejadi ketika Pancasila secara formal sudah diterima dengan di terimanya oleh
umat Islam dan umat beragama lain Pancasila sebagai asas tunggal yang
dikokohkan dengan UU No. 5 dan Tahun
1985. Pada era ini syi’ar dan simbol agama terus berlanjut seperti masa
sebelumnya bahkan kian semarak. Apalagi keluarga Suharto memperkokoh simbol dan
syi’ar itu dengan boyong naik haji ke
Mekah satu pesawat penuh pada tahun 1990. Ia
menambah nama menjadi Haji Muhammad Suharto dan isterinya menjadi Hajjah
Siti Suhartinah. Mbak Tutut, putri Suharto tertua, dengan selendang tiga perempat menutup
kepalanya dan suka berkebaya panjang, terkesan mempromosikan budaya Islam Indonesia bagi kaum muslimah di
sini. Bahkan gaya itu disebut gaya selendang Mbak Tutut. Tentu saja suara
sumbang tetap ada dan gosip terhadap perilaku putri-putri keluarga ini senantiasa menjadi kabar burung. Di antaranya
dikabarkan ada di antara yang suka berjudi, main mata di luar rumah tangga dan
sebagainya.
Masih soal simbolik dan syi’ar islam ini, tahun 1995
pertama kali festival istiqlal diadakan. Berikutnya dengan biaya milyaran
rupiah didukun ribuan artis di antaranya
yang amat terkenal Oma Irama, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bersama muballigh
sejuta ummat KH Zainuddin MZ diadakan
pula upacara takbiran spetakuler menyambut Idul Fitri. Suharto menabuh beduk
raksasa di tengah ribuan beduk lain dengan lantunan gemuruh takbir menggema
angkasa di lapangan Monas.
Di samping hal-hal yang bersifat
simbolitistik-ritualistik dan budaya yang semakin Islami itu, Suharto semakin
akrab dengan tokoh dan kelompok strategis Islam lainnya. Pada Muktamar
Muhamadiyah ke-42 di Aceh, ia dengan lantang mengatakan dirinya adalah bibit
Muhammadiyah yang ditanam di Indonesia. Gus Dur dengan NU-nya diberi keleluasaan
bekerjasama dengan William Soeryawijya, seorang pengusaha non-pri membuka Bank
NU-Suma (Nusuma) dengan target mendirikan 2000 BPR di Indonesia.
Tentu saja apa yang dilakukan Suharto tidak semua umat
dan tokoh elit Islam serta ulama bebas di Indonesia menyetujuinya. Namun
kekuasaan Suharto mesti terus dilanjutkan. Maka hati mayoritas umat harus pula
dirangkul . Hal itu sangat beralasan karena secara faktual kekuatan politik
Suharto tidak efektif kalau ABRI,
birokrat-teknokrat, kelompok sosialis, nasionalis, elit Nashrani dan umat Islam tidak digegang erat. Di masa awal Orba, Suharto didukung oleh
tanki pomikir Katholik, Sosialis, dan Nasionalis di bawah kendali
maestro-politik Orba Ali Murtopo, Beni Murdani dan Sujono Humardani di Center for
Strategic and International Studies
(CSIS) yang berkantor di Tanah Abang II, Jakarta.[8]
Bagi kalangan tertentu, perilaku Suharto dianggap
mulai bergeser drastis merangkul umat Islam. Bahkan ketika didirikan ICMI,
terwujudnya kompilasi hukum Islam dan diputuskannya UU No. 7 Th. 1989 tentang
peradilan agama di atas tadi, Suharto dianggap memberi peluang hidupnya Piagam
Jakarta. Meskipun keadaan itu merupakan resiko historis dari pernyataan Sukarno
5 Juli 1959 yang mengatakan Piagam Jakarta menjiwai dan memberi semangat kepada
UUD’45, tetapi arah politik Suharto itu dianggap sebagai memberi peluang
syari’at Islam akan menjiwai UU dan hukum positif Indonesia. Sesuatu yang bagi
kaum sekularis dan penganut agama lain tidak disenangi. Namun, apakah perubahan
Suharto itu ikhlas dan murni untuk kebaikan umat Islam, ataukah hanya sekedar
untuk merangkul umat islam untuk mempertahankan kekuasaannya?.
Penafsiran lain mungkin dapat dipertimbangkan.
Misalnya, Suharto merasa sudah terlalu kuat
di dalam negeri. Karenanya ia ingin mengokohkan
dirinya di dunia internasional. Maka kelihatan
di akhir 80-an dan sepanjang tahun 1990-an Suharto sering berkunjung ke
mancanegara. Julukan dunia internasional terhadap dirinya sebagai negarawan
paling senior saat itu menambah kepercayaan dirinya. Bandingkan dengan Lee Kwan
Yu yang sudah undur dari kedudukan sebagai Perdana Menteri dan hanya mau
menerima jabatan menteri senior di Singapura. Marcos dari Filipina sudah jatuh.
Di Eropa kecuali para raja sebagai lambang pemimpin negara, tidak ada pemimpin
pemerintahan atau Perdana Menteri yang lebih dari 10 tahun berkuasa. Di Amerika
Latin tinggal Fidel Castro yang senior dan pada waktu itu masih di bawah
rekor Suharto. Oleh karena itu, di dunia
internasional setelah runtuhnya dominasi blok Timur yang dipimpin Sovyet, maka
kekuatan satu-satunya tinggal blok Barat dengan sokoguru utama Amerika Serikat
bersama-sama Inggris, Prancis, Jerman dan Jepang. Suharto ingin menarik simpati
negara-negara Barat itu antara lain dengan melaksanakan Konferensi AFEC tahun
1994. Supaya simpati Barat mudah diraih, maka perlu dukungan lain, di antaranya
negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di dunia, antara lain meningkatkan keaktifan di OKI.
Hal itu menjadi sangat penting karena
Indonesia mayoritas muslim.
Dengan demikian segala yang bernuansa simbolik-syi’ar islam, bernuansa syari’at, serta pelonggaran
bernafas bagi fundamentalisme Islam diterapkan. Citra Suharto yang refresif
terhadap Islam di Indonesia terutama dari kacamata negara-negara OKI, harus diperbaiki.
Hal lain adalah situasi ekonomi internasional,
regional dan dalam negeri Indonesia
relatif stabil di awal 1990-an. Paling
tidak secara semu ekonomi Indonesia berkembang. Bahkan Bank Dunia
memprediksikan bahwa Indonesia segera menjadi macan Asia menyamai Hongkong,
Korea, Taiwan , menyusul Malaysia dan Thailand.
Oleh karena itu sudah tiba saatnya mengalihkan perhatian kekuatan
ekonomi untuk pribumi. Apa lagi kelas menengah ekonomi Indonesia mulai menyatakan
peranannya. Mereka yang tumbuh belakangan itu jelas mayoritas Islam. Mereka
yang selesai pendidikan di dalam maupun luar negeri, mayoritas bernuansa
religius Islam yang memadai. Bersamaan dengan itu berkembangnya Islam kultural bukan islam
struktural dan politik dianggap oleh beberapa analis sebagai sesuatu yang
membuat orang bergengsi menjalankan ritualisitik dan simbol-simbol islam yang
kian bergairah. Ucapan Assalamu’alikum menjadi budaya Indonesia. Walaupun waktu
itu ada isyu Gus Dur ingin mengubah Assalamualaikum dengan selamat pagi, siang
dan malam, tetapi belakangan pernyataan itu diralat sebagai salah kutip
wartawan. Meskipun ONH tetap mahal, namun jumlah jemaah haji meningkat tiap tahun, termasuk mereka yang
datang dari kalangan ABRI, birokrat, teknokrat, bahkan para artis dan kaum
selebriti.
Keadaan itu dapat ditafsirkan bahwa umat Islam ternyata bisa di ajak
kompromi. Beberapa kalangan mengatakan, bahwa kemesraan hubungan (sebagian)
umat Islam dan pemerintah itu sebagai bernuansa mutual-simbioistik (keadaan
saling menguntungkan). Umat Islam mendapat beberapa konsesi sosial dan politik
yang moderat, Suharto mendapat kekuasaan yang menurut kalangan tertentu tetap
dianggap otoriter. Oleh karena itu
Suharto mulai lupa dengan asosiasi nasrani, sosialis dan nasionalis sekuler
yang di masa awal Orba sangat aktif
membantunya menekan Islam. Mereka yang ada di GOLKAR mulai diganti dengan
orang-aorang yang lebih Islami. Di ABRI yang menurut sumber tahun 1970-an dan
awal 80-an, 75 persen perwira tingginya adalah kalangan lain, terutama Nasrani,
berikutnya mulai diberi peluang kepada yang lebih Islami. Sehingga muncul gosip
ABRI merah putih dan ABRI hijau. Begitu pula di kalangan politikus yang duduk di DPR dan MPR. Hal itu berlaku karena
secara sepihak Suharto dapat mengangkat dan memberi peluang orang yang dikehendakinya
untuk duduk di posisi-posisi strategis. Termasuk mereka yang berasal dari Parpol di luar GOLKAR, perlu rekomendasinya. Maka jadilah DPR dan MPR apa
yang disebut media massa tahun 1992 –1993 sebagai ijo royo-royo.
Plus-Minus Reformasi
Keadaan ini tidak lebih dari satu dekade. Bulan madu
kalangan Islam tertentu dengan Suharto itu terlalu singkat. Awal tahun 1993
Amien Rais, waktu itu salah seorang Pengurus Pusat Muhamadiyah di dalam Tanwir[9]
orgnisasi ini di Surabaya sudah mencanangkan bahwa Suharto harus turun dari
kursinya pada Oktober 1993. Belakangan karena Suharto masih duduk, Suharto
berhasil merangkul Amien dan melalui tangan tertentu kabarnya Amien dapat
menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Muktmar organisasi ini di Aceh tahun
1995. Hal itu diperkirakan karena pada waktu itu, siapa pun yang akan duduk di
puncak organisasi besar bertaraf nasional, mustahil tanpa klarifikasi Suharto.
Tetapi Amien bukan tipe yang mudah dijinakkan. Bahkan setelah dia menjadi Ketua Umum PP
Muhammadiyah ia semakin vokal. Dengan cara yang sangat licik, bahkan Amien
dimundurkan dari Ketua Umum Dewan Pakar ICMI oleh Suharto.
Walaupun demkian, Amien dianggap menjadi lokomotif
gerakan reformasi Indonesia. Bila sebelumnya Amien dianggap tukang azan, menyerukan shalat, maka kini Amien
siap menjadi imam, siap bediri di
depan untuk reformasi(Thohari dalam Najib, 1998, 105). Walaupun di tahun 1980
sudah ada opposan Suharto seperti
kelompok Petisi 50 di antaranya M. Natsir menjadi salah satu penanda
tangannya, dan untuk hal tertentu kelompok Fordem Gus Dur di akhir 1980-an serta kelompok
kritis lainya, namun semuanya dapat dipatahkan Suharto. Barulah setelah angin
perubahan global, seperti telah
disinggung di atas tadi, berlanjut dengan krisis moneter, krisis eknomi dan
krisis kepercayaan yang multi dimensi, ditambah dengan gerakan moral dan fisik
mahasiswa, Suharto mengahadapi nasibnya jatuh dari kekuasan. Habibie yang
menggantinya (21 Mei 1998-23 Oktober 1999) dalam kaitan analisis ini, boleh
dikatakan tidak mengubah peta situasi. Umat Islam sedang menikmati gebyar
reformasi. Apalagi melihat Habibie yang tampil, maka simbol islam semakin dianggap kian kokoh. Habibie berhasil
meng-ICMI’kan kabinetnya. Mantan pemimpin
HMI dan beberapa pentolan kelompok strategis lainnya dari Muhammadiyah
dan NU berperanan besar dalam GOLKAR. Kaum nasionalis sekuler, sosialis dan
nashrani kian terpinggirkan. Begitu pula ditubuh ABRI. Apa yang dianggap
kelompok hijau tetap bertahan , bahkan semakin kuat walaupun Suharto lengser.
Habibie tidak segan-segan mengangkat orang-orang
seperti Adi Sasono yang Sekjen ICMI,
Fahmi Idris tokoh HMI, tentu Aklbar Tanjung dan sederetan lainya duduk di dalam kabinet dan kelompok kerja
Presidensialnya. Namun sebagai dimaklumi, sebagai seorang teknokrat-teknolog,
nampaknya Habibie tertipu oleh keadaan. Memberikan opsi merdeka atau integrasi
kepada Timor Timur, dianggap sebagian orang sebagai puncak kebijakan blunder Habibie. Begitu pula pencabutan
SP3 Suharto, serta kebijakan ideologis-politisnya
terlalu ke kanan (Islam). Faktor-faktor ini dianggap beberapa analis sebagai
aksi kecerobohan Habibie dalam
mempertahankan kekuasaannya. Namun tak urung banyak juga yang memuji. Di tengah
badai dahsyat krisis moneter dan ekonomi, Habibie mampu menurunkan nilai tukar
dolar US dari Rp. 15000 menjadi Rp.6700-Rp.7500. Begitu pula puluhan undang-undang
dan peraturan yang lebih demokratis dan desentralistik berhasil
diselesaikannya. Di antaranya UU tentang Partai Politik dan Pemilu, UU Otonomi
Daerah dan UU Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam UU Parpol, hal yang
sangat ditunggu-tunggu kaum “islam-politik” hendak menjadikan Islam sebagai
asas partai terkabulkan. Dari 160 Parpol yang terdaftar hampir 25 persen
berasaskan islam. Dan dari 48 parpol yang ikut Pemilu, sekitar 40 % atau lebih
sepertiga (17 Parpol) menisbatkan dirinya kepada partai islam meskipun ada yang
menambah dalam asasnya dengan Pancasila seperi PAN dan PKB (Basyaib,1999:iii).
Mengingat kuatnya cengkeraman tangan Presiden terhadap DPR yang membuat UU di
mana anggota DPR itu masih produk Pemilu 1997 era Suharto, walaupun sudah di zaman reformasi, maka keadaan itu
boleh dikatakan bahwa secara demokratis Habibie membuka peluang kepada umat
islam. Tentu peluang itu juga kepada
umat lain untuk merealisasikan cita-cita ideologinya menurut agama, moral,
nilai budaya dan sejarah serta pahamnya masing-masing. Keadan menjadi lain, ketika
pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR dalam SI MPR Oktober 1999 dan Habibie
gagal menjadi Presiden kembali. Semuanya menjadi plus-munisnya reformasi bagi
religiousitas dan ideologi umat.
Religiousitas Spiritualistik dan
Tarik Menarik Ideologi
Selesai terpilih sebagai Presiden, Gus Dur lalu ziarah
ke Makam kakek dan mertuanya. Di setiap kesempatan, Gus Dur mencari kuburan tua
yang dianggap semasa hidup mendiang itu adalah orang yang alim, tinggi ilmunya
dan lebih dari itu mempunyai ilmu tarikat yang tinggi. Budaya istighasah yang sudah menjadi populer di
kalangan NU semakin semarak. Di era Suharto dan Habibie islam
modernis-ekomodatif menjadi mayoritas bisu terhadap perilaku politik Suharto,
tetapi bangga dengan syiar dan simbolitistik Islam. Kelompok ini di era Gus Dur
tersingkir. Yang naik adalah kelompok modernis-kritis dan tradisionalis radikal
(Fealy dan Barton, 1996) di zaman Gus Dur. Berbagai julukan penulis dan analis
terhadap Gus Dur pada dasarnya mengelaborasi progresifitas, radikalisme, demokratisasi, pluralistik, humanistik,
toleransi serta sekularistiknya Gus Dur.
Semuanya itu memberi dampak plus-minus bagi situasi
religiousitas dan ideologi umat. Gus Dur Gus Dur seperti pidatonya di Sidang
Tahunan MPR Agusutus 2000 ini menekankan
kembali rekaman cetak biru raksasa (giant
blue print) visi dan misi perjuangannya yang dilandasi filsafat
pribadinya yang ia sebut sebagai : pluralisme, toleransi dan kemanusiaan.
Lembaran pemikiran Gus Dur itu di awal kepresidennya telah membangkitkan
perlawanan dan mengentalnya sentimen religiousitas dan ideologi sebagian
kelompok strategis umat Islam. Antara lain ketika Gus Dur berniat membuka
hubungan dagang dengan Israel dan mencabut TAP MPR No. 25 Th. 1966 tentang
pelarangan komunisme. Begitu pula pernyataannya tentang Departemen Agama
sebagai arena pasar dan terlalu menitik beratkan hanya kepentingan satu agama
(Islam?) , Mesjid Istiqlal harus
dikelola oleh berbagai pemeluk agama
seperti Katedral di Washington, MTQ
terlalu mubazir, urusan agama harus
diurus oleh pemeluknya masing-masing dan pemerintah tidak akan ikut campur. MUI
harus lepas sama sekali dari pengaruh pemerintah .
Tentu saja pernyataan-pernyataan Gus Dur untuk
bagian-bagian tertentu ada maunya dan
bagian tertentu ada benarnya.
Misalnya soal Departemen Agama sebagai
pasar yang dimaksudnya sebagai jual-beli kepentingan. Pernyataan ini agaknya
lebih tepat sebagai pelampiasan sakit hati sekaligus kegembiraan Gus Dur. Sakit
hati, karena sejak Orba, setelah Ahmad Dahlan, jabatan Menteri Agama lepas dari
tangan NU dan pindah ke tangan non-NU.
Berturut-turut dipegang oleh Mukti Ali, Alamsyah, Munawir Sjazali. Tarmizi
Taher dan Malik Fajar. Kegembiraan Gus Dur tentulah setelah Ia menjadi
Presiden, maka NU kembali ke
jabatan kesayangannya. Dengan
ungkapannya yang pejoratif (merendahkan) tersebut diharapkan tidak ada yang
protes kalau NU kembali ke kursi ini. Benar saja Drs. H. Tolchah Hasan , Rektor UNISMA Malang dari NU diangkat menduduki posisi
Menteri Agama ini.
Soal MTQ
mungkin dapat dianggap pada aspek tertentu ungkapan Gus Dur mengenai
mubazir ada benarnya. Akan tetapi MTQ
sekarang di samping tilawah, juga dipertandingkan hifzil Qur'an dan syarhil
Qur'an, serta fahmil Qur'an serta
gerakan kecintaan umat kepada Qur'an, pameran kaligrafi dan sebagainya.
Semuanya itu tak bisa dinilai dengan materi. Bukankah Pekan Olahraga Nasional (PON)
melebihi biaya MTQ ? Bila MTQ bersifat
spiritual, mental dan budaya, maka olahraga adalah bersifat fisik-jasmani dan
mental budaya juga. Menyangkut MUI yang terlalu dekat dengan pemerintah, Gus
Dur nampak menutup mata akan kenyataan umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Lebih dari itu MUI tidak sama dengan KWI dan PGI . Yang pertama menganut
prinsip kesalehan individual harus seimbang dengan kesalehan sosial. Syariat
tidak bisa tegak kalau tidak ada topangan kekuasaan atau pemerintah. Sementara
yang kedua, jelas-jelas menganut prinsip sekularisme murni. Agama adalah urusan
individual, kekuasan pemerintah tidak boleh ikut campur begitu pula sebaliknya.
Urusan Istiqlal tentulah tidak mungkin dapat disamakan dengan Katedral di
Washington, karena sejarahnya berbeda. Istiqlal adalah proyek mercusuar Sukarno di masa lalu sangat dibanggakan umat Islam Indonesia.
Lebih dari itu status Masjid bagi umat islam tidak sama dengan Gereja baik
secara fisik apalagi secara spiritual.
Di dalam rangka mengambil hati kaum minoritas, Gus Dur
berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya membatasi kerukunan hidup
internal, antar umat beragama dan antara
umat Islam dengan pemerintah yang disebut trilogi kerukunan. Gus Dur secara
lantang menolak ketentuan perlu izin pemerintah untuk membangun rumah ibadah
seperti yang tercantum di dalam
ketentuan Mendagri dan Menag No. 1 Tahun 1969. Begitu pula Gus Dur
mencabut ketentuan pelarangan perayaan tahun baru Cina dan budaya Cina serta mengakui Kong Hu Cu sebagai agama. Apa yang dilakukan
Gus Dur dikutip oleh media massa Barat sebagai upaya Gus Dur memperlihatkan
wajah manis Islam(Slobodan Lekic, 2000). Sesuatu yang sebenarnya keliru. Karena
ketentuan-ketentuan sebelumnya tadi itu bukanlah hasil rekayasa umat Islam,
tetapi suatu bentuk rekayasa sosial rezim sebelumnya tanpa konfirmasi dengan
umat Islam atau organisasi massa dan pemimpin umat Islam. Oleh karena itu,
wajah manis Islam bukan ciptaan Gus Dur tetapi sudah dari asal mula proses
sosialisasi islam sejak masa awalnya.
Kontroversial
paling akhir adalah pernyataan Gus Dur
tentang keinginan untuk mengamendemen UUD '45 ayat 1 Pasal 29. Upaya
memasukkan 7 kata : "menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada ST-MPR baru-baru ini
dikatakannya sebagai upaya formalisme agama. Dan itu menurut Gus Dur, seperti
dikutip Matori Abdul Djalil, bila
menjadi kenyataan, akan dapat menciptakan keresahan umat (Detik.com 19/8/2000).
Konstatasi itu terkesan sangat simplistis. Suatu kesimpulan yang terburu-buru
dan tidak demokratis. Padahal fakta menunjukkan bahwa komisi A, ST-MPR baru lalu belum sempat membahasnya karena
tidak dialokasikan waktu secara efketif dan efisien. Lebih dari itu, pimpinan
Komisi A yang diketuai Yakob Tobing sekan-akan melalaikannya. Inilah kenyataan
seperti diungkapkan Nurdiati Akma dari
frakri reformasi di ujung persidangan tersebut. Dengan demikian, ucapan Gus Dur tadi dapat mengancam praktek
demokrasi yang hendak ditegakkan dan selama ini selalu ia elu-elukan.
Sebaliknya apakah kehendak kelompok masyarakat yang terwakili di dalam fraksi PPP, PBB
dan reformasi untuk mengamandemen pasal 29 UUD'45 itu
bertentangan dengan tema sentral Gus Dur tentang pluralisme, toleransi dan
kemanusiaan di atas tadi?. Mengapa jauh sebelum persoalan itu diperdebatkan
secara formal di lembaga yang tepat
untuk itu (MPR) dalam suatu wacana demokrasi yang sehat, telah a priori dituduh
sebagai biang keresahan?. Jawabannya
dapat dirujuk ke belakang dan itu terdapat di dalam filsafat politik Gus Dur .
Menurut Mark R. Woodward (1998) filsafat politik Abdurrahman Wahid adalah:
mengkombinasikan kesalehan Islam (individual
?. Pen.) dan apa yang disebutnya "kemanusiaan universal". Ia
menjelsakan bahwa secara metodologis, NU masih tetap sepenuhnya tradisional,
tetapi organisasi itu memanfaatkan penalaran fiqih mazhab Syafi'i untuk sampai
pada pandangan-pandangan yang toleran dan pragmatis. Ia sepenuhnya berpegang
pada gagasan negara sekular (huruf tebal, Pen.) di mana warga negara dari
latar belakang berbagai agama memiliki hak-hak yang sama. Ia dengan gigih
menentang setiap upaya untuk memasukkan ketetapan hukum Islam mengenai
perzinaan dan pemurtadan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di
Indonesia, dan (Ia)menyebut penerapan hukum pidana "Islam" di
Malaysia sebagai "kembali ke zaman kegelapan.
Banyak penulis dan pengamat di dalam dan luar negeri
mengatakan Gus Dur sebenarnya di samping penganut humanisme universal, juga
pejuang demokrasi. Dan semua ingatan tetap akan mengaitkan kenangan dengan
Forum Demokrasi (Fordem) yang digagas dan kemudian dipimpin Gus Dur dekade
terakhir pemerintahan Suharto. Aksi Fordem itu ternyata merupakan ledakan
endapan pemikiran Gus Dur sejak 1970-an seperti diungkapkan Greg Barton (1999)
mengutip tulisan Abdurrahman Wahid (1978): "Demokrasi Haruslah
Diperjuangkan":
Di
negeri kita demokrasi belum lagi ditegakkan dengan kokoh masih lebih berupa
hiasan luar bersifat kosmetis daripada sikap yang melandasi pengaturan hidup
yang sesungguhnya. Dalam suasana sedemikian ini, unsur-unsur masyarakat yang
ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa ini tentu akan berusaha
sekuat tenaga untuk membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan
mereka yang menyadari betapa perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini.
Apabila Gus Dur memperjuangkan demokrasi, seperti
dikutip Barton tadi, tentulah harus diartikan demokrasi dalam memperjuangkan
ketimpangan sosial, ekonomi, politik dan HAM serta memperjuangkan legalitas
ideologi lain seperti rehabilitasi komunis seperti telah disinggung pada bagian
terdahulu. Akan tetapi soal aspirasi sebagian umat Islam untuk mendapat
pengayoman dalam menjalankan syariat agamanya , dengan mengamandemen pasal 29
UUD '45 tadi, dianggap oleh Gus Dur sebagai upaya formalisme agama yang akan
meresahkan masyarakat.
Proyeksi ke Depan
Dari beberapa cuplikan
gagasan dan pemikiran dan aksi Gus Dur yang kini tengah berkuasa, maka
dapatlah dibayangkan proyeksi ke depan situasi religius dan ideologi umat Islam
Indonesia dalam dua skenario. Pertama,
bila Gus Dur tetap berkuasa , paling tidak
sampai 2004 apalagi kalau
melebihi batas waktu itu, maka apa yang dikatakan sebagai pemisahan agama dan
negara akan semakin nyata. Yang bakal terjadi adalah, bila ekonomi semakin
membaik, maka kesalehan individual akan
terpelihara. Keadaan itu untuk aspek tertetu, misalnya kemauan naik haji dan
ibadah mahdhah lainnya terus akan
berkembang. Seperti yang terjadi pada masa-masa Suharto. Sementara itu, upaya
memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam hukum, perundang-undangan akan menghadapi
kendala yang berat. Di parlemen berhadapan dengan PDIP, KKI, dan kalangan
GOLKAR serta kelompok nasionalis sekuler lainnya yang mayoritas. Sementara PBB, PPP, fraksi kecil Islam
lainnya akan semakin terdesak dalam perjuangannya. Di luar parlemen, di tataran
pemerintahn eksekutif, dengan komando Gus Dur dan Megawati, apa saja yang
berbau Islam ideologis dan syari'at tidak bakal lolos.
Kedua, bila Gus Dur hanya
sampai tahun 2004, atau lebih cepat dari tenggat waktu tersebut turun tahta,
maka situasi religiousitas dan ideologi
umat belum akan juga berubah ke arah
yang diinginkan pihak-pihak yang idealis. Karena cendekiawan muslim yang ada serkarang ,
banyak yang tidak ikut di gelanggang perjuangan. ICMI sedang
menju ke lembah nasibnya sendiri. Para
birokrat dan teknokrat Islam sebagian besar kembali ke dunia profesinya
masing-masing. Kalaupun ada yang di dunia politik praktis, itu hanyalah mereka
yang sudah pensiun, satu dua ada pengusaha. Yang lebih tragis lagi adalah bahwa
kalangan islam yang aktif di politik sekarang adalah mereka yang dianggap tidak
mempunyai masa depan di dalam kehidupan profesional lainnya. Dunia politik sekarang tidak menarik bagi kalangan berilian
Islam. Padahal perubahan bangsa ditentukan oleh kaum penentu kebijakan alias
penguasa dan itu harus direbut melalui jalur politik. Kalau pun Gus Dur turun nantinya, besar
kemungkinan "Gus Dur" baru bakal muncul lagi dalam format berbeda
tetapi sekularisme yang sama. Syukur
kalau Allah membalikkan situasi lagi kepada yang lebih berpihak kepada-Nya. Dan
itulah yang ditunggu seperti yang dikatakan Natsir di awal tulisan ini. و
الله اعلم بالصواب
, انشاء الله***
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Agus Edi Santoso, Tidak
ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem,
Jakarta: Jambatan, 1997
Ahmad Syafii Maarif, Studi
tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Amien Rais, Tauhid Sosial,
Bandung: Mizan, 1998
Crane Brinton, The Shaping of The Modern Mind (Pembentukan
Pemikiran Moderen), Jakarta: Mutiara, 1981.
Dahl, Modern Political
Analysis, N.J. : Printice-Hall, 1963.
Deliar Noer, "Hatta dan Partai Islam" dalam Hamid
Basyaib, Mengapa partai Islam kalah,
Jakarta: Alvabet, 1999.
Dreg Fealy, Greg Barton, Tradisionalisme
Radikal: Persinggungan Nahdatul Ulama
- Negara, Yogyakarta: LKIS, 1997.
Ellyasa KH. Dharwis, Gus
Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKIS, 1997.
Hamid Basyaib-Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah: Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu '99 sampai
Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999.
H.M. Rasjidi, Koreksi
terhadap Drs. Nurcholis Madjid, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia, Jakarta:Pustaka Antara, 1999.
M. Natsir, Endang Saifuddin Anshari, Agama dan
Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: LIPPM, 1989.
Muhammad Najib, Suara
Amien Rais Suara Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Sahar l. Hasaan, dkk., Ed. Memilih
Partai Islam: Visi, Misi, dan Persepsi, Jakarta: Gema Insani Press,
1998.
Mark R. Woodward, Ed. Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.
Slobodan Lekic, "Indonesia Struggles with Islamic
Identity", Associated Press,
7 September 2000.
[1]
Drs. H. Shofwan Karim, M.A. sedang menyelesaikan Program S3 Pascasarjana IAIN Jakarata dan Lektor Muda (III/c) dalam
Mata Kuliah Perkembangan Modern di Dunia Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN
Imam Bonjol Padang
[2]
Pada tahun 1994, dari salah seorang Warga Indonesia di Belanda
Penulis memperoleh keterangan bahwa naik haji melalui Belanda hanya perlu ongkos US $.1500. Waktu itu ongkos
pesawat Belanda –Indonesia (PP) hanya
US$ 900. Jadi bila orang Indonesia akan berhaji dari Indonesia melalui Belanda hanya perlu US$ 2400. Sementara waktu itu ONH
Indonesia adalah US$3500. Tahun 1996 di Mekah dari jamaah haji Malaysia,
Penulis memperoleh informasi bangsa ONH Malaysia hanya US$2000, sementara Indonesia tetap seperti
1994, US$3500.
[3]
Sebagian dana untuk ini adalah dari potongan gaji Pegawai Negeri
di Indonesia antara 100 sampai 1000 rupiah dari golongan I sampai golongan
IV.
[4]
Formalistik dan ideologis yang dimaksud di sini adalah yang berhubungan dengan pendapat menganggap bahwa pentingnya negara Islam dan syari’at islam
ada di dalam konstitusi dan tercermin di dalam hukum dan perundang-undangan ,
peradilan dan tata sosial kemasyarakatan.
[5]
Nurcholis Madjid membedakan antara sekularisasi sosiologis
sebagai sesuatu yang bersifat desakralisasi simbol-simbol dan sekularisasi
filosofis yang dikatakan sebagai sekularisme yang harus ditolak . Lihat,
Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di
Indonesia” dalam 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Pelita, t.t.) h.
215.
[6]
Ketiganya adalah kerukunan
hiup intern umat bergama, kerukunan hidup
antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
[7]
Muhammadiyah, MUI dan beberapa Ormas Islam selain mencantumkan di dalam Anggaran Dasar
organisasinya asas Pancssila, juga memuat
pasal baru yang disebut akidah . Mereka mencantumkan akidah Islamiyah.
Kecuali DDII dan PII tidak pernah mengubah asasnya, meskipun ada UU N0. 8 Thaun
1985, kedua organisasi Islam ini tetap berasas Islam.
[8][8]
Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, pada akhir 1970-an
dan awal 80-an, Abdurrahman Wahid, kini Presiden Gus Dur merupakan salah seorang anggota dan
aktif dikelompok ini.
[9]
Tanwir adalah suatu instansi tertinggi kedua sesudah Muktamar dalam mengambil
keputusan dan kebijaksanaan organisasi. Biasanya Tanwir berlangsung beberapa waktu dekat ke Muktamar
yang akan memutuskan agenda Muktamar dan hal-hal strategis kebijakanorganisasi
Muhammadiyah.
Comments