Repleksi Cak Nur dan Buya Syafii Pilpres 2004

  

Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005)

                                                    Komentar Harian Singgalang, 2004:

                                         Tokoh Islam Kontemporer dan Godaan Politik (Judul asli waktu itu)

Oleh Shofwan Karim

shofwan.karim@hotmail.com

            Di tengah banyaknya  tokoh Islam mutakhir Indonesia yang kini menjadi milik kita, ada dua tokoh ingin dikemukakan di sini. Keduanya  tidak hanya menjadi guru besar universitas tetapi orisinal sebagai guru besar bangsa. Dua sejoli itu adalah Prof Dr. Nurcholish Madjid (Mojoanyar, 65 th), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Sumpur Kudus, 69 th) .

            Kedua mereka adalah sosok idealis. Kokoh fondasi keilmuwan teori dan praktik Islam. Menguasai secara prima  debat tekstual dan kontekstual Islam. Mereka penulis poduktif, pewacana aktif, dan progresif. Kini, Nurcholish adalah Rektor Universitas Paramadina Mulya. Syafii, Guru Besar UNJ ini sedang memimpin 20 juta umat Muhammadiyah.

            Dalam kaitan situasi mutakhir bangsa, kedua mereka punya keterkaitan politik yang fluktuatif. Nurcholish yang pada mula tahun 1970-an meneriakkan semboyan Islam yes, partai Islam no, tiba-tiba  berubah. Pada tengah dekade itu (1977) ia  turun berkampanye untuk PPP. Pada era 80-an ia  meneriakkan oposisi loyal untuk demokrasi. Ia giat memberi warna kental gerakkan  intelektualisme,  kebangsaan serta  Islam kultural via Kelompok Kajian Islam Paramadina.

Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (bahasa Arabاحمد شافعي معارف‎; lahir 31 Mei 1935) atau akrab disapa Buya Syafii



            Ibarat keluar dari sarangnya, Nurcholish berperan dalam proses reformasi 1997-1998. Bersama Amien Rais, Gusdur, Sri Sultan dan lain-lain,  Nurcholish menghadap Soeharto meminta penguasa 32 tahun itu lengser ke prabon. Paling anyar, untuk Pilpres 2004, Nurcholish mencoba  bertarung tetapi gagal. Nurcholish mundur dari Konvensi Partai Golkar. Kemunduran dengan alasan amat simplistik dan sedehana. Ia   protes kepada panitia konvensi.  Akbar dianggap tidak pantas ikut konvensi karena  posisi Akbar sebagai Ketua Umum parta ini dapat mempengaruhi objektifitas konvensi. Lebih dari itu, Nurcholish melihat gejala . Ia tidak suka (tidak mampu?) menyediakan gizi politik . Praktik salah yang ditemuinya setelah keliling Indonesia dengan Tim Sukses pada pra konvensi itu.

            Belakangan, prediksi dan alasan Nurcholish menjadi batal. Ternyata pemenang konvensi Golkar adalah Wiranto. Padahal Wiranto dalam  posisi yang sama dengan Nurcholish sebagai orang “luar” Golkar. Riak-riak akhir, ada upaya Nurcholish untuk mengarap partai-partai kecil supaya mencalonkan dirinya untuk Pilpres. Sekarang gairah Nurcholish soal yang satu ini nampak redup bak teplok ditiup angin.

            Bagaimana dengan Syafii. Rayuan politik kepadanya tak kurang pula gencarnya. “Kehancuran dan keterpurukan Indonesia nyaris sempurna”, katanya berulang-ulang. Kalimat itu kini melekat sebagai hak patennya.

Apakah Syafii hanya sampai mencak-mencak dengan kalimat patennya itu. Tidak. Ia aktif  mendatangi dan didatangi. Ia memberikan tausyiyah, keritik dan pandangan strategis ke berbabagi pihak dalam dan  luar negeri. Beberapa duta besar negara puncak dunia mendatanginya. Bahkan presiden George Bush pernah di berinya taushiyah. Apalagi terhadap Megawati. Syaffi lumayan intensif berkomunikasi kepada  Mega baik langsung maupun tak lansung. Bahkan Megawati Januari 2002 bersedia membuka Tanwir Muhammdiyah di Bali. Komunikasi tak lansung dilakukan Syafii melalui suami Mega,  Taufik Kiemas yang sering bertandang ke Syafii. Konon, bahkan  Syafii pernah berkata kepada Taufik, ” mbok ya isterimu itu jangan maju lagi menjadi Capres”.

Begitu pula kepada para menteri kabinet. Syafii cukup aktif berkomunikasi untuk kebaikan bangsa . Ligatnya Syafii berkomunkasi politik, sosial dan intelektual itu, dapatkah ditafsirkan “ ada udang di balik batu”. Di dalam beberapa kesempatan, penulis pernah mengajuk dan merayu Syafii. Penulis memancing menyitir ulang kalimat  Said Qutub di dalam Tafsirnya Fi Zilaalil Qur’an membahas ayat 104 surat Ali Imran. “ Sesungguhnya, amar ma-ruf dan nahi munkar tidak bisa tegak kalau tidak ada otoritas alias kekuasaan”. Bagaimana respons Syafii terhadap pernyataan  salah seorang deretan atas pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir itu. 

            Syafii tersenyum. Haruskah Syafii akan kekuasaan ? Walaupun peluang untuk itu sangat besar. Apalagi situasi terakhir di kalangan NU mencerminkan betapa godaan itu menggiurkan. Semua petingginya sejak dari Ketua Umum, dan Ketua Tanfiziiah Hasyim Muzadi dan Sholahuddin Wahid secara positif dapat dianggap  memenuhi imbauan Said Qutub tadi. Sebaliknya kalau secara negatif, mungkin orang menuduh para Capres-Wacapres dari kalangan ulama dan petinggi muslim, haus  kekuasaan. Sebagai sudah kita maklumi, keduanya Hsyim  menjadi Cawapres  Mega dan Sholahuddin, CawapresWiranto.

Kembali ke Syafii, di bandingkan Muzadi dan Sholah,  rasanya intensitas, kualitas dan kuantitas komunikasi politik, inteklektual dan sosial Syafii ke semua lini partai, golongan lintas budaya, etnis dan agama tak kurang , kalau tak hendak disebut melebihi. Termasuk berdialog dan memberi taushiyah terhadap Presiden AS George Bush di Denpasar, Bali, Desember lalu.  Sekaitan dengan godaan pragmatisme poltik itu,   suatu kali Syafii pernah berbisik kepada penulis. Intinya, di tengah Indonesia yang centang perenang ini, Syafii nampaknya ingin menjadi jembatan yang menghubungkan tubir jurang yang terjal. Ingin merekat retak-retak antar dan lintas segemen warga dan pemimpin yang majemuk ini.

 Ia  ingin dekat dengan semua orang. Ia bebas menjadi tempat mengadu dan bebas menasehati atau sekaligus mengeritik. Ia  sepenuhnya berambisi menjadi juru dakwah. “Dakwah selalu menyatukan, politik senantiasa memecah”, katanya, suatu kali. Tentu saja yang dimaksudnya adalah politik yang bukan dalam koteks dakwah seperti isyarat Said Qutub di atas tadi.

Syafii menyebut politik yang penuh tipu muslihat  sebagai syahwat politik atau syahwat kekuasaan. Inilah yang harus dihindari. Namun bila politik murni untuk kejayaan Islam dan kemuliaan umat Islam, agaknya Syafii tidak alergi politik. Itulah sebabnya ia tidak tergiur untuk berlomba merebutnya. Ia memberi kesempatan dan membantu sepenuhnya namun tidak menyeret Muhammadiyah sebagai organisasi untuk mendukung  Prof Dr. H.Amien Rais MA .

Mungkin ini punla mengapa Syafii tidak hadir waktu pendeklarasian Amien-Siswono di Gedung Juang 45 Jakarta 9 Mei lalu. Terakhir dia juga protes terhadap pencantuman namanya sebagai penasihat Tim Sukses Nasional Dwai Tunggal Amin-Siswono. Namun sebagai individu-perorangan di belakang layar, termasuk di dalam setiap kesempatan berhadapan dengan warga dan pemimpin Muhammadiyah , ia memuji Amien dan Siswono. 

Secara tersirat, Syafii mendukung penuh kedua Capres-Cawapres ini. Amien adalah harapannya.  Amien itu berani, jujur dan amanah, katanya berkali-kali. Etika,  komunikasi, dan budaya politik berakhlak seperti ini, barangkali yang harus kita jadikan opsi utama sekarang ini. *** 

 

           

             

 

            

Comments

Popular posts from this blog

Selamat Jalan Adinda Anwar Syarkawi

Kunci Kekuatan Taliban

Flashback: Arah Angin Gub 2015-2020