Trias Politica Zakat

Kontribusi dari Republika Online
Jumat, 02 November 2007
Erie Sudewo
Social Entrepreneur

Ada hal menarik dengan digelarnya Konferensi Zakat Asia Tenggara di Kota Padang, 31 Oktober 2007 hingga 3 November 2007. Konferensi ini merupakan lanjutan dari acara serupa yang digelar di Kuala Lumpur Mei 2006. Hal pertama yang menarik, ini tak lain merupakan pertemuan politik. Internasional lagi. Yang kedua, konferensi ini tengah membicarakan bagaimana meningkatkan profesionalisme zakat, yang ujung-ujungnya tentu untuk fakir miskin.

Ketiga yang tak kalah menariknya, Pemkot Padang jadi tuan rumah. Sementara yang lain lebih tertarik mengundang para pebisnis, Pemkot Padang malah ingin mengurus fakir miskin lebih serius. Ini sebuah terobosan politik, yang tentu tak mudah menggiringnya. Tinggal sekarang bagaimana tim di belakang layar, mampu menyiasati agar konferensi ini tak jadi liar. Harus ada sesuatu, agar pengelolaan zakat Indonesia ke depan lebih terarah.

Politik mengenal tiga ranah, yakni politik praktis, high politics, dan hidden politics. Politik yang sehat meramu ketiganya. Tujuannya demi negara. Seseorang yang sukses, jadi pahlawan negerinya. Tapi di negara lain, orang itu bisa jadi dianggap 'monster'. Itulah politik bernegara. Ketiganya tentu dikenal para praktisi partai politik di Indonesia. Namun praktiknya, politisi kita lebih suka hidden politics. Sayang hidden-nya untuk pribadi, kelompok, atau cuma untuk partainya.

Imbasnya, akhirnya juga melesat ke zakat. Bicara zakat, memang tak lepas dari politik. Sebab seperti yang sebagian ulama katakan, zakat merupakan keputusan politik paling penting dalam Islam. Kata paling penting mengacu pada tiga hal yakni zakat bukan hanya wajib, zakat merupakan satu-satunya ibadah berdimensi ganda: vertikal dan horizontal, dan zakat pun dijadikan Rukun Islam. Pertanyaannya, mengapa zakat yang jadi Rukun Islam? Mengapa bukan bank dan mengapa bukan asuransi? Bukankah zakat hanya untuk fakir miskin? Mengapa kalangan marginal ini yang harus diperhatikan? Inilah substansi 'politik' zakat yang menjungkirkan logika berpikir manusia.

Politik praktis
Untuk menjawabnya, tiga ranah politik tersebut bisa dijadikan pembedah. Ditinjau dari politik praktis, tujuan zakat memang jangka pendek. Besarnya yang cuma 2,5 persen langsung ditujukan pada fakir miskin. Karena diwajibkan, semangat zakat pun diterapkan di semua denda. Kedudukan denda jadi wajib atas segala pelanggaran. Seperti dam haji atau kafarat, pasti ditujukan untuk fakir miskin.

Kendati jangka pendek, tujuan zakat tak berhenti di pemenuhan kebutuhan semata. Ada tujuan mulia yang seperti ditegaskan Ibnu Taimiyah agar kita memenuhi kebutuhan agar mereka bisa beribadah normal seperti muzaki. Dalam ibadah, Islam memang tak memaksa. Tapi sebagai sesama Muslim, saling mengingatkan wajib hukumnya. Dan jangan pernah percaya, bahwa si miskin lebih soleh ketimbang si kaya.

Tujuan agar fakir miskin bisa ibadah normal, seperti menyiratkan ancaman bagi si kaya. Padahal itu berarti bahwa keleluasaan beribadah harus juga diberikan pada tetangganya yang tengah kesulitan. Jangan masuk surga sendirian. Dengan zakat, masukilah surga ramai-ramai.

High politics
Dikaji dari sisi high politics, pesan zakat lebih kuat ketimbang pajak. Dengan zakat, pemerintah diajari membangun bangsa. Zakat diprioritaskan khusus untuk mustahik. Kendati luas, pengertian mustahik disederhanakan sebagai kalangan mustadh'afin (tidak mampu). Pemerintah diajari untuk memperhatikan mereka.

Orang kaya memang tak harus sekaya konglomerat. Yang pasti mereka sudah mampu mengatasi persoalan dasar diri sendiri. Lihat saja perbankan dan asuransi. Bukankah itu dibuat untuk mempertahankan comfort zone mereka? Islam memang ajaran sempurna. Tentu tak adil jika Islam menetapkan bank dan asuransi jadi salah satu pilar Rukun Islam. Jika itu terjadi, maka uang akan berputar di antara orang kaya yang itu-itu juga. Dengan zakat, semangat itu diredam dan ketamakan manusia digugat.

Dalam postulat manajemen, kekuatan organisasi terletak di simpul terlemah. Dengan menemukan dan membenahi yang lemah, lembaga manapun akan jadi kuat. Dengan membenahi yang miskin, negara akan tumbuh realistis jadi kuat. Jumlah 120 juta orang miskin bukan simpul namanya. Itu ceruk kelemahan yang menganga lebar, yang siap membetot siapapun untuk jadi miskin. Yang bisa mencegah, hanya pemerintah. Karena bicara kebijakan, itu adalah ranah high politics yang jadi hak penuh pemerintah.

Hidden politics
Zakat ternyata punya sisi hidden politics. Dalam istilah lain adalah hidden agenda. Untuk yang wajib, bilangan dan waktunya jelas seperti shalat hanya lima waktu, puasa yang wajib pun hanya saat Ramadhan. Yang sunah, tak terhingga bilangannya. Islam memang luar biasa. Yang wajib, selalu sedikit jumlahnya. Zakat pun kan cuma 2,5 persen. Selebihnya yang 97,5 persen, suatu angka yang konteksnya boleh tak terhinggaini merupakan kekuatan bilangan tanpa batas ini tampak maknanya bila disingkap dari istilah zakat.

Kata lain zakat adalah sedekah. Sedekah terbagi dua, materi dan non-materi. Yang awam melihat, materi punya peran lebih. Bagi mereka, dengan berzakat 2,5 persen selesailah tugas Rukun Islam ketiga. Padahal jika dikaitkan dengan kandungan kalifah fil'ard, ternyata 2,5 persen itu tak cukup. Tiap orang akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pemimpin bukan hanya para pejabat atau direktur. Pemimpin adalah minimal dia memimpin dirinya sendiri. Membawa diri sebagai pemimpin, artinya dia harus bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi lingkungannya.

Maka sebagai muzaki, Presiden SBY berzakat sebesar 2,5 persen. Sebagai presiden, apa sedekah SBY dan juga para pemimpin yang lain?. Sebagai pribadi muzaki, mereka sudah bersedekah dalam bentuk zakat. Namun sebagai pemimpin, mereka harus bersedekah dalam bentuk kebijakan. Hidden agenda zakat memang mulia. Sedekah pemimpin tak lain membangun kehidupan dan peradaban.

Comments

Popular posts from this blog

Selamat Jalan Adinda Anwar Syarkawi

Kunci Kekuatan Taliban

Flashback: Arah Angin Gub 2015-2020