Obituari Bang Wis dari Langit Arab
Catatan Perjalanan (2)
Obituari Bang Wis dari Langit Arab
Oleh Shofwan Karim
Tiba-tiba saja Bang Darman
Munir mengajak makan di sebuah restoran
di Padang . Sekonyong-konyong pula muncul sosok Bang Wisran Hadi, lalu saya mengajaknya ikut bersama Bang Darman.
Sambil tersenyum dan menyeret
kursi, Bang Wis berkata, " kama se Shofwan?" . Saya pandang wajahnya. Lalu berkata, bahwa
saya dalam perjalanan ke Kairo, dan kemudian gelap. Tiba-tiba saya kaget, dan
astaghafirullah, lalu terjaga.
Merasa telah sempurna bangun
dari tidur, saya berkata, "Apa sudah shalat subuh Anwar? ". Anwar
duluan bangun. Saya melihat ke luar kaca dinding yg sudah agak terang dan
kemudian shalat subuh di atas sajadah yg diulurkan pegawai Etihad Executive
Lounge, Bandara Internasional Abu Dhabi.
Setelah terbang 8 setengah
jam dari Jakarta, kemarin lalu Senin
27/6 senja, sampailah saya dan Anwar hampir tengah malam pk 11.20 waktu Abu
Dhabi di Bandara Internasional tersibuk di Timur Tengah ini. Waktu mundur 4 jam
di sini dari pada Jakarta.
Penerbangan akan kami
lanjutkan besok pk 9.20 pagi, Selasa,
28/6. Artinya kami nongkrong di ruangan istirahat eksekutif ini lebih kurang 10
jam. Dan itulah yang membuat kami tertidur lelah.
Anwar duluan tidur sementara
saya melihat tugas dan komunikasi intensif tuntutan kerja di screen komputer
internet bebas di lounge ini.
Sebelum terlena dalam mimpi
tadi, power semua devices, saya colok ke saklar listrik dinding utk charging.
Battrey hp penuh. Lalu setelah dinyalakan, di screen in box telah ada 10 sms
masuk.
Betapa saya terkejut karena
ke10-nya menyatakan kabar duka wafatnya
Bang Wisran Hadi, pagi ini Selasa, 28/6 pk 7.30. Innalillahi wainna ilai
hirajiun.
Kilas mimpi tadi saya ceritakan ke Anwar
Abbas. Wafatnya Budayawan Indonesia yg tinggal di Padang tadi telah mengejutkan
semua orang.
Emma Yohanna yang satu pesawat
dg saya ke Jakarta dari Padang kemarin menceritakan betapa Bang Wis sampai
menitikkan airmata, sendu dan amat prihatin terhadap kepedulian yang amat
rendah tentang kebudayaan di masyarakat kita.
Diskusi terbatas 4 anggota
DPD dipimpin Ketuanya Irman Gusman (sempat merangsang utk kegiatan 50 juta rupiah
utk aktifitas awal kebudayaan) dengan sekitar 30-an orang budayawan seniman senior malam itu, Senin, 20/6 di
Pangeran Beach Hotel malam itu amat memilukan.
Kata Zaitul Ikhlas, staf ahli
DPD kepada saya dalam perjalanan ke Painan untuk Festival Langkisau 21/6, kemudian besoknya
ditulis Singgalang, Bang Wis sampai agak shock malam itu.
Kembali ke Abu Dhabi, teman
seperjalanan saya Anwar Abbas, seorang tokoh Minang, Ketua MUI Pusat amat
intens mengikuti sepak terjang Wisran Hadi.
Almarhun adalah penulis
naskah teater-drama sekaligus sutradaranya, pendiri dan pengasuh Bumi
Teater. Bang Wis berkali-kali menerima penghargaan nasional
dan internasional, pernah tinggal
menggeluti dunianya itu di IOWA Amerika, pada lebih 3 dekade lalu.
Almarhum kelahiran Lapai
Padang ini adalah putra Buya H. Darwas Idris, Imam Besar Masjid Taqwa
Muhammadiyah akhir 60-an dan awal 70-an serta Dekan Fakultas Syariah UMSB pada
masa itu.
Buya Darwas bukan saja ulama
mumpuni, muballigh dan pengasuh jamaah Pasar Raya. Buya juga tokoh kritis
terhadap pemerintah Orde Baru masa itu.
Kepada Uda Basril Djabar,
Emma Yohanna dan Darman Munir, pada
tag membalas sms mereka serta Prof Elwi dan sahabat Alwi Karmena, say dapat berbicara via telepon, saya mohon disampaikan rasa duka kepada
isteri almarhum Uni Upik atau Prof. Dr. Ir. Hj. Raudhatul Jannah Thaib.
Selanjutnya menulis pula sms berita duka
ke teman-teman di Semen Padang dan beberapa lainnya.
Almarhun Bang Wis, suami
Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar Prof. Raudhah (Uni Upik) ini saya kenal mulai tahun1974. Waktu itu saya
ikut-ikutan latihan drama Caligula di bekas kantor kebudayaan Jl. Hiligoo
Padang.
Bang Wis dan Uni Upik yang waktu itu belum menikah ada
di situ. Bang Wis, kalau tak salah
pengadaptasi naskah Albert Camus tersebut sekaligus Sutradara. Uni Upik,
produktif menulis puisi dan membacanya di setiap forum di masa-masa itu.
Bersama dg Alm. BHR Tanjung, Leon Agusta,
Makmur Hendrik, Yan Abdullah dan Zainul Basri serta Alwi Karmena, AA Alin De
(alm), saya ikut latihan. Ada pula Darman Munir dan Darna Bakar yg kemudian
menjadi suami-isteri.
Pada tahun 70-an hingga
80-an, kegiatan berkesenian dalam arti sempit dan berkebudayaan dalam arti
luas, cukup bergairah di ranah ini.
Adalah Mursal Esten (Prof.
Dr. Drs) dosen IKIP waktu itu dan Drs. Muslim Ilyas. Wartawan senior Basrll Djabar, Nasrul Sidik, Chairul Harun,
Muchlis Sulin, Yusfik Helmy serta AA Navis budayawan Indonesia terkenal kurun
itu adalah deretan aktor intelektualnya.
Papa Rusli Marzuki Saria
dengan ruangan kebudayaan dan RMI Haluan. Almarhum H. K amardi Rais Dt. Panjang
Simulie di Harian Semangat bersama Syukmajaya dan Efendi Kusnar memberi wahana
kepenulisan dan dialog kebudayaan. Lalu seorang usahawan budayawan yang punya
hotel Minang di sebelah Taman Budaya Jl. Diponegoro itu, Uda Rustam Anwar dan
Uni Jusna Anwar menjadi sokoguru pula. Tentu termasuk di sini Uda Nazif Basyir
sebelum hijrah ke Jakarta dan kawin dengan Legendaris Penyanyi Minang Ely
Kasim, amatlah pula penting disebut di sini.
Di birokrasi, dorongan dan
dukungan dana dari Pemko Padang yg diwalikotai Drs. H. Hasan Basri Durin (dua
priode) kemudian menjadi Gubernur (2 priode) dilanjutkan Wako Syahrul Udjud (2
priode) serta gubernur terdahulu Harun Zain dan Azwar Anas, sangat dekat dengan
kalangan Seniman dan Budayawan daerah ini.
Hiduplah suasana dengan
berbagai aktifitas berkebudayaan dan berkesenian kala itu. Ada bengkel teater.
ada Bumi Teater, ada Sanggar Tari & Ensamble Syofyani-Yusaf (da Caf)
Rahman, Nyak Dina, Darwis Loyang, Indojati Gusmiati Syuib, ada backbone tulang
punggung Wan Tanul (Bustanul Arifin Adam) bersama adik-adiknya Huriyah Adam,
Arsyad Adam dan Achyar Adam di Akademi Seni Karawitan (ASKI) Padang Panjang.
Selain Bang Wisran Hadi yg
mendapat undangan dan beasiswa ke IOWA untuk Writing Program 1 semester, dulu
itu juga Darman Munir, Chairul Harun serta AA Navis yg berbicara di berbagai forum kebudayaan Internasional di
bebera benua Asia, Amerika, Eropa dan Australia.
Dari manakah mulainya?. Hub atau sumbunya dimulai dari disulapnya
Lapangan Bola Dipo pinggir pantai depan Fak. Hukum Unand Kampus lama menjadin
Pusat Kesenian Padang. Kemudian bermetamorfosa menjadi Taman Budaya. Kawasan
ini seakan menjadi maskot kota Padang
kala itu. Jangan lupa di Taman Budaya menjadi pusat latihan karate, yudo dan
silat di antaranya Pat Ban Bu (empat banding budi) binaan Makmur Hendrik. Salah
deorang pendekar muridnya kala itu, kini menjadi Wako Padang hampir 2 periode,
DR. H. Fauzi Bahar, M. Si.
Kembali ke Bang Wis,
budayawan bebas dan tajam ini bukan hanya merenung dan berfilsafat, tetapi
menulis dalam bahasa ringan dan populer. Kolum jilatang-nya di Padang Ekspres
Minggu, atau Komentarnya di Harian Singgalang, atau refleksinya dalam koran
Haluan lama atau Haluan baru Basrizal Koto sekarang, menjadi trendsetter
pemikiran kebudayaan kritis.
Semuanya menyepak, menerjang,
mengkilik, mengikis dan menguliti debu-debu kehidupan kita. Debu yang
menyelimuti agama, menyelimuti adat, birokrasi, politik, sosial-kemasyarakatan,
telah mendapat porsi yang berimbang dalam pengabdian Bang Wis.
Kadang terasa sakit, pilu,
dan tragik dalam dhamir hati dan otak kepala kita ketika menonton teater Bang
Wis, membaca naskah drama, dan artikel serta tulisan tulisannya. Bang Wis
amat produktif dan adil membagi karyanya. Terutama di media masa.
Tulisannya ditunggu. Beberapa hari menjelang wafat, saya masih membaca artikelnya tentang adat
dan budaya di Haluan dan Pendidikan di Singgalang yang amat kritis.
Tiba-tiba Airbus Etihad
menciut mendarat di Bandara Internasional Kairo. Samsung Galaxy Tab ini saya
lipat dengan mengusap wajah yang terasa lembab oleh air mengalir merambat di
bawah pelupuk mata. Bang Wis, selamat
jalan. Doa kami semoga Allah membalasi jasa kebudayaanmu dg syorga jannatun
na'im. ***
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Singgalang waktu itu. Tks Singgalang.
Comments