Idul Fitri, Syariat dan Syiar
http://www.padangekspres.co.id/content/view/19604/55/
Minggu, 28 September 2008
Oleh : DR.H. Shofwan Karim Elha, MA, (Rektor UMSB, Sekretaris ICMI Orwil Sumbar).
Minggu, 28 September 2008
Oleh : DR.H. Shofwan Karim Elha, MA, (Rektor UMSB, Sekretaris ICMI Orwil Sumbar).
Pagi 1 Syawal 1429 H semua ummat Islam akan bergembira merayakan Idul Fitri. Di lapangan terbuka sesuai anjuran Rasulullah SAW yang amat dipentingkan (muakkad) bagi ummat Islam adalah melaksanakan shalat sunnat 2 rakaat dengan iringan khutbah memberikan pesan ketaqwaan. Sejak senja ditutupnya Ramadhan dikumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, di masjid, mushalla dan di lapangan terbuka dan berbagai tempat. Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari hati yang taqwa. (Q.S.22:32).
Zakat-fitrah sebagai kewajiban setiap diri umat muslim mukmin ditunaikan untuk memberi makan dan kegembiraan bagi fakir miskin (Q.S. 9:60). Sebelum atau selesai shalat Id di lapangan semua saling bersilaturrahim, bersalaman dan saling meminta maaf. Lebih dari itu, hendaknya semua kaum muslimin tidak kering lidahnya memohon ampun kepada Allah dan semoga shaum dan qiyamu Ramadhan yang telah dilaksanakan mencapai sasaran dan mereka benar-benar dan sungguh menjadi orang yang bertaqwa.
Itulah antara lain, secara syariat yang paling utama dilakukan oleh setiap kaum muslimin dan muslimin berdasarkan pedoman Alqur’an dan sunnah shahihah.
Di luar syariat itu, secara budaya ternyata dengan alasan tradisi dan kultur maka terasa ada sesuatu yang amat berubah. Semua konsentrasi kehidupan kaum muslimin di seluruh dunia mengalami modifikasi. Terutama di negeri kita Indonesia, hal itu wajar terjadi karena mayoritas penduduknya beragama Islam, terbawa oleh arus perubahan irama kehidupan itu.
Sebenarnya, perubahan itu termasuk perubahan yang bersifat mondial atau mendunia terjadi pada pemeluk agama-agama samawi dan non samawi lainnya. Misalnya kaum Nashrani, bila menyambut hari natal, mereka “heboh” pulang kampung sehingga tiket antar negara dan interkontinental pasti mahal. Kita ummat Islam di Indonesia mengalami hal yang sama.
Harga tiket antar kota antar provinsi, antar pulau baik darat, laut dan udara naik rata-rata dua kali lipat. Itu terjadi karena arus mudik lebaran amat spektakuler dan menjadi ritual lebaran yang non-syar’i dan membudaya.
Harga-harga semua jenis barang terutama yang berkaitan dengan lebaran biasanya menjadi naik. Artinya angka inflasi juga turut terdongkrak melonjak karena masyarakat lebih konsumtif membeli berbagai jenis makanan, minuman, pakaian, bahkan ada yang memaksa diri untuk membeli kenderaan baru atau disewa dan juga ada yang memerlukan kalau tidak rumah baru, perabotnya yang baru, handphone baru dan seterusnya.
Sebagian di antara umat kita merasa hari raya Idul Fitri yang biasa disebut lebaran itu, memang kesempatan untuk berbelanja besar-besaran melebihi bulan-bulan lain dalam tahun yang berlangsung. Keadaan budaya demikian bolehlah kita sebut sebagai dalam—tanda petik—konsumerisasi lebaran. Lebih-lebih untuk kalangan selebritis, lebaran menjadi amat bergengsi. Di situlah ajang kesempatan mereka untuk memperlihatkan segala yang baru tadi.
Dan jangan lupa ada muatan poliltik lebaran yang juga ikur membonceng. Di saat akan ada Pemilu 2009, kebetulan sekarang adalah masa kampanye tanpa daftar yang resmi sudah dimulai, maka kesempatanlah untuk memikat calon pemilih melalui selebrisasi lebaran. Jangan heran kalau media massa juga ikut menikmati budaya lebaran ini. Setiap hari bahkan, ada gambar calon terpajang dengan embel-embel prihatin terhadap kaum dhuafa, fakir, miskin dan seterusnya yang membagi paket cuma-cuma bak orang dermawan yang amat mumpuni.
Tentu saja tidak semua perilaku tokoh, perorangan atau para selebritis populis dan politis itu dapat kita anggap sebagai konsumtif atau mencari populeritas di balik budaya Lebaran ini.
Mereka yang benar-benar dari hatinya ingin berbagi haruslah dihargai tinggi karena itu sebenarnya merupakan amanah Allah kepada mereka yang memiliki harta dan uang untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Apalagi memang angka orang yang fakir dan miskin tidak terlalu banyak perubahan penurunannya.
Bahkan ketika Lebaran ini, angka kemiskinan mungkin naik karena banyaknya orang yang kelihatan memang membutuhkan baik secara langsung meminta-minta atau tidak langsung karena memang berketiadaan tetapi mereka malu mengatakannya.
Artinya, di satu sisi bolehlah dianggap bahwa mereka punya kepedulian yang tinggi meskipun belum duduk di kursi kekuasaan. Mafhum mutatis mutandis-nya, mereka akan lebih peduli lagi kalau sudah duduk di kursi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif.
Untuk mereka yang memiliki niat ikhlas dan motivasi murni ini, tentulah menjadi dambaan kita semua. Walaupun demikian, marilah kita renungkan, bahwa syariat dan syiar atau perayaan memang ada kaitannya terutama bila nikmat Allah itu untuk memperlihatkan kesyukuran kepada Allah.
Tetapi bila sebaliknya yang terjadi, kalau ria, pamer dan maksud lain, maka pahala puasa kita dan niat kembali kepada kesucian yang fitri akan berubah menjadi kesombongan dan kekufuran. Yang kita dambakan adalah yang sebaliknya, yaitu menjadi orang yang selalu syukur dan menebarkan nikmat untuk sesama. Semoga. Wa Allah a’lam bi al-Shawab. (*)
Zakat-fitrah sebagai kewajiban setiap diri umat muslim mukmin ditunaikan untuk memberi makan dan kegembiraan bagi fakir miskin (Q.S. 9:60). Sebelum atau selesai shalat Id di lapangan semua saling bersilaturrahim, bersalaman dan saling meminta maaf. Lebih dari itu, hendaknya semua kaum muslimin tidak kering lidahnya memohon ampun kepada Allah dan semoga shaum dan qiyamu Ramadhan yang telah dilaksanakan mencapai sasaran dan mereka benar-benar dan sungguh menjadi orang yang bertaqwa.
Itulah antara lain, secara syariat yang paling utama dilakukan oleh setiap kaum muslimin dan muslimin berdasarkan pedoman Alqur’an dan sunnah shahihah.
Di luar syariat itu, secara budaya ternyata dengan alasan tradisi dan kultur maka terasa ada sesuatu yang amat berubah. Semua konsentrasi kehidupan kaum muslimin di seluruh dunia mengalami modifikasi. Terutama di negeri kita Indonesia, hal itu wajar terjadi karena mayoritas penduduknya beragama Islam, terbawa oleh arus perubahan irama kehidupan itu.
Sebenarnya, perubahan itu termasuk perubahan yang bersifat mondial atau mendunia terjadi pada pemeluk agama-agama samawi dan non samawi lainnya. Misalnya kaum Nashrani, bila menyambut hari natal, mereka “heboh” pulang kampung sehingga tiket antar negara dan interkontinental pasti mahal. Kita ummat Islam di Indonesia mengalami hal yang sama.
Harga tiket antar kota antar provinsi, antar pulau baik darat, laut dan udara naik rata-rata dua kali lipat. Itu terjadi karena arus mudik lebaran amat spektakuler dan menjadi ritual lebaran yang non-syar’i dan membudaya.
Harga-harga semua jenis barang terutama yang berkaitan dengan lebaran biasanya menjadi naik. Artinya angka inflasi juga turut terdongkrak melonjak karena masyarakat lebih konsumtif membeli berbagai jenis makanan, minuman, pakaian, bahkan ada yang memaksa diri untuk membeli kenderaan baru atau disewa dan juga ada yang memerlukan kalau tidak rumah baru, perabotnya yang baru, handphone baru dan seterusnya.
Sebagian di antara umat kita merasa hari raya Idul Fitri yang biasa disebut lebaran itu, memang kesempatan untuk berbelanja besar-besaran melebihi bulan-bulan lain dalam tahun yang berlangsung. Keadaan budaya demikian bolehlah kita sebut sebagai dalam—tanda petik—konsumerisasi lebaran. Lebih-lebih untuk kalangan selebritis, lebaran menjadi amat bergengsi. Di situlah ajang kesempatan mereka untuk memperlihatkan segala yang baru tadi.
Dan jangan lupa ada muatan poliltik lebaran yang juga ikur membonceng. Di saat akan ada Pemilu 2009, kebetulan sekarang adalah masa kampanye tanpa daftar yang resmi sudah dimulai, maka kesempatanlah untuk memikat calon pemilih melalui selebrisasi lebaran. Jangan heran kalau media massa juga ikut menikmati budaya lebaran ini. Setiap hari bahkan, ada gambar calon terpajang dengan embel-embel prihatin terhadap kaum dhuafa, fakir, miskin dan seterusnya yang membagi paket cuma-cuma bak orang dermawan yang amat mumpuni.
Tentu saja tidak semua perilaku tokoh, perorangan atau para selebritis populis dan politis itu dapat kita anggap sebagai konsumtif atau mencari populeritas di balik budaya Lebaran ini.
Mereka yang benar-benar dari hatinya ingin berbagi haruslah dihargai tinggi karena itu sebenarnya merupakan amanah Allah kepada mereka yang memiliki harta dan uang untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Apalagi memang angka orang yang fakir dan miskin tidak terlalu banyak perubahan penurunannya.
Bahkan ketika Lebaran ini, angka kemiskinan mungkin naik karena banyaknya orang yang kelihatan memang membutuhkan baik secara langsung meminta-minta atau tidak langsung karena memang berketiadaan tetapi mereka malu mengatakannya.
Artinya, di satu sisi bolehlah dianggap bahwa mereka punya kepedulian yang tinggi meskipun belum duduk di kursi kekuasaan. Mafhum mutatis mutandis-nya, mereka akan lebih peduli lagi kalau sudah duduk di kursi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif.
Untuk mereka yang memiliki niat ikhlas dan motivasi murni ini, tentulah menjadi dambaan kita semua. Walaupun demikian, marilah kita renungkan, bahwa syariat dan syiar atau perayaan memang ada kaitannya terutama bila nikmat Allah itu untuk memperlihatkan kesyukuran kepada Allah.
Tetapi bila sebaliknya yang terjadi, kalau ria, pamer dan maksud lain, maka pahala puasa kita dan niat kembali kepada kesucian yang fitri akan berubah menjadi kesombongan dan kekufuran. Yang kita dambakan adalah yang sebaliknya, yaitu menjadi orang yang selalu syukur dan menebarkan nikmat untuk sesama. Semoga. Wa Allah a’lam bi al-Shawab. (*)
Comments