Repleksi Cak Nur dan Buya Syafii Pilpres 2004
Komentar Harian Singgalang, 2004:
Tokoh Islam Kontemporer dan Godaan Politik (Judul asli waktu itu)
Oleh Shofwan Karim
Di
tengah banyaknya tokoh Islam mutakhir
Kedua
mereka adalah sosok idealis. Kokoh fondasi
keilmuwan teori dan praktik Islam. Menguasai secara prima debat tekstual dan kontekstual Islam. Mereka
penulis poduktif, pewacana aktif, dan progresif. Kini, Nurcholish adalah
Rektor Universitas Paramadina Mulya. Syafii, Guru Besar UNJ ini sedang memimpin
20 juta umat Muhammadiyah.
Dalam
kaitan situasi mutakhir bangsa, kedua mereka punya keterkaitan politik yang
fluktuatif. Nurcholish yang pada mula tahun 1970-an meneriakkan semboyan Islam yes, partai Islam no, tiba-tiba berubah. Pada tengah dekade itu (1977)
ia turun berkampanye untuk
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (bahasa Arab: احمد شافعي معارف; lahir 31 Mei 1935) atau akrab disapa Buya Syafii |
Ibarat
keluar dari sarangnya, Nurcholish berperan dalam proses reformasi 1997-1998.
Bersama Amien Rais, Gusdur, Sri Sultan dan lain-lain, Nurcholish menghadap Soeharto meminta
penguasa 32 tahun itu lengser ke prabon. Paling anyar, untuk Pilpres 2004,
Nurcholish mencoba bertarung tetapi
gagal. Nurcholish mundur dari Konvensi Partai Golkar. Kemunduran dengan alasan
amat simplistik dan sedehana. Ia protes
kepada panitia konvensi. Akbar dianggap
tidak pantas ikut konvensi karena posisi
Akbar sebagai Ketua Umum parta ini dapat mempengaruhi objektifitas konvensi.
Lebih dari itu, Nurcholish melihat gejala . Ia tidak suka (tidak mampu?)
menyediakan gizi politik . Praktik salah yang ditemuinya setelah keliling
Belakangan,
prediksi dan alasan Nurcholish menjadi batal. Ternyata pemenang konvensi Golkar adalah Wiranto. Padahal Wiranto
dalam posisi yang sama dengan Nurcholish
sebagai orang “luar” Golkar. Riak-riak akhir, ada upaya Nurcholish untuk
mengarap partai-partai kecil supaya mencalonkan dirinya untuk Pilpres. Sekarang
gairah Nurcholish soal yang satu ini nampak redup bak teplok ditiup angin.
Bagaimana
dengan Syafii. Rayuan politik kepadanya tak kurang pula gencarnya. “Kehancuran
dan keterpurukan
Apakah Syafii
hanya sampai mencak-mencak dengan kalimat patennya itu. Tidak. Ia aktif mendatangi dan didatangi. Ia memberikan
tausyiyah, keritik dan pandangan strategis ke berbabagi pihak dalam dan luar negeri. Beberapa duta besar negara
puncak dunia mendatanginya. Bahkan presiden George Bush pernah di berinya
taushiyah. Apalagi terhadap Megawati. Syaffi lumayan intensif berkomunikasi
kepada Mega baik langsung maupun tak
lansung. Bahkan Megawati Januari 2002 bersedia membuka Tanwir Muhammdiyah di
Bali. Komunikasi tak lansung dilakukan Syafii melalui suami Mega, Taufik Kiemas yang sering bertandang ke
Syafii. Konon, bahkan Syafii pernah
berkata kepada Taufik, ” mbok ya isterimu
itu jangan maju lagi menjadi Capres”.
Begitu pula
kepada para menteri kabinet. Syafii cukup aktif berkomunikasi untuk kebaikan
bangsa . Ligatnya Syafii berkomunkasi politik, sosial dan intelektual itu,
dapatkah ditafsirkan “ ada udang di balik batu”. Di dalam beberapa kesempatan, penulis
pernah mengajuk dan merayu Syafii. Penulis memancing menyitir ulang kalimat Said Qutub di dalam Tafsirnya Fi Zilaalil Qur’an membahas ayat 104
Syafii
tersenyum. Haruskah Syafii akan kekuasaan ? Walaupun peluang untuk itu sangat
besar. Apalagi situasi terakhir di kalangan NU mencerminkan betapa godaan itu
menggiurkan. Semua petingginya sejak dari Ketua Umum, dan Ketua Tanfiziiah
Hasyim Muzadi dan Sholahuddin Wahid secara positif dapat dianggap memenuhi imbauan Said Qutub tadi. Sebaliknya
kalau secara negatif, mungkin orang menuduh para Capres-Wacapres dari kalangan
ulama dan petinggi muslim, haus kekuasaan.
Sebagai sudah kita maklumi, keduanya Hsyim menjadi Cawapres Mega dan Sholahuddin, CawapresWiranto.
Kembali ke
Syafii, di bandingkan Muzadi dan Sholah, rasanya intensitas, kualitas dan kuantitas
komunikasi politik, inteklektual dan sosial Syafii ke semua lini partai,
golongan lintas budaya, etnis dan agama tak kurang , kalau tak hendak disebut
melebihi. Termasuk berdialog dan memberi taushiyah terhadap Presiden AS George
Bush di Denpasar,
Ia
ingin dekat dengan semua orang. Ia bebas menjadi tempat mengadu dan
bebas menasehati atau sekaligus mengeritik. Ia
sepenuhnya berambisi menjadi juru dakwah. “Dakwah selalu menyatukan, politik senantiasa memecah”, katanya,
suatu kali. Tentu saja yang dimaksudnya adalah politik yang bukan dalam koteks
dakwah seperti isyarat Said Qutub di atas tadi.
Syafii menyebut politik yang penuh tipu muslihat sebagai syahwat politik atau syahwat kekuasaan. Inilah yang harus dihindari. Namun bila politik murni untuk kejayaan Islam dan kemuliaan umat Islam, agaknya Syafii tidak alergi politik. Itulah sebabnya ia tidak tergiur untuk berlomba merebutnya. Ia memberi kesempatan dan membantu sepenuhnya namun tidak menyeret Muhammadiyah sebagai organisasi untuk mendukung Prof Dr. H.Amien Rais MA .
Mungkin ini punla mengapa Syafii tidak hadir waktu pendeklarasian Amien-Siswono di Gedung Juang 45 Jakarta 9 Mei lalu. Terakhir dia juga protes terhadap pencantuman namanya sebagai penasihat Tim Sukses Nasional Dwai Tunggal Amin-Siswono. Namun sebagai individu-perorangan di belakang layar, termasuk di dalam setiap kesempatan berhadapan dengan warga dan pemimpin Muhammadiyah , ia memuji Amien dan Siswono.
Secara tersirat, Syafii mendukung penuh kedua Capres-Cawapres ini. Amien adalah harapannya. Amien itu berani, jujur dan amanah, katanya
berkali-kali. Etika, komunikasi, dan
budaya politik berakhlak seperti ini, barangkali yang harus kita jadikan opsi
utama sekarang ini. ***
Comments