https://tarbiyahislamiyah.id/islam-di-sumatra-barat-yang-sedang-sial/
Islam di Sumatra Barat yang Sedang Sial - Tarbiyah Islamiyah
Islam umpama sapi perah bagi masyarakat Minang Sumatra Barat. Selain menjadi sumber energi dan nutrisi budaya, ia juga menjadi alat pencitraan yang utama. Tak kecuali pada era aplikasi android ini, di saat Islam mendapatkan ekspresi barunya sebagai salah satu tools sosial yang paling fashionable untuk mendapatkan simpati dan pengaruh. Yang menarik, di tengah upaya kalangan cendekia, agama, dan pemerintah lokal menguatkan citra keislaman mereka, realitas justru berjalan makin menjauh dari prinsip-prinsip keislaman itu. Orang Sumatra Barat misalnya, umumnya lebih suka menghabiskan energi dan uang untuk menggelar pentas “orgen tunggal” ketimbang memberi makan kaum duafa dalam sebuah acara perkawinan. Sementara pada saat yang bersamaan, masyarakat Sumatra Barat juga cenderung merasa paling baik kadar keislamannya dibanding masyarakat-masyarakat di daerah lain.
Pada tataran kelembagaan, indikasinya kentara betul melalui kegemaran pemerintah daerah (baik kabupaten, kota, provinsi) membuat Perda Syariah yang seringkali tidak substansial dan tidak menyentuh permasalahan kemasyarakatan itu sendiri. Itu kalau dilihat dari anjuran pokok isi kebanyakan Perda tersebut yang hampir seragam. Biasanya berkisar di sekitar kewajiban berbusana muslimah, wajib baca al-Qur’an, dan pemberantasan maksiat yang sebenarnya tak perlu embel-embel syariah, karena perundangan konvensional maupun kebiasaan masyarakat kita sudah cukup baik mengaturnya. Beberapa dari Perda itu malahan – selain berpotensi “tidak efektif” karena sudah tertera dalam regulasi secara nasional – juga berpotensi mengabaikan kelaziman telah berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya Perda Zakat yang saat ini ditetapkan berlaku di setidaknya 8 kota/kabupaten di Sumatra Barat. Pemusatan wewenang pada Badan Zakat bentukan pemerintah untuk pengumpulan, penyaluran zakat, dan sanksi-sanksi yang diatur Perda, bagaimanapun berpotensi berbenturan dengan tata cara budaya perzakatan yang telah berlaku di tengah masyarakat Sumbar yang mayoritas beragama Islam.
Yang menarik, pendukung Perda-perda Syariah itu merupakan partai non-agamis kalau dilihat dari komposisi anggota DPRD Sumatra Barat yang didominasi Golkar, Demokrat dan Gerindra. Sementara partai-partai berplatform agama seperti PKS, PPP, dan yang keberadaannya ditopang organisasi keagamaan seperti PAN dan PKB, perolehan kursinya tidak dapat menyaingi partai-partai berplatform nasionalis. Baru pada pemilu 2019 lalu, PKS meraih peningkatan suara cukup signifikan sebagai ekses dari kemenangan pasangan Capres Cawapres 02 di Sumatra Barat yang mereka dukung.
Muncul pertanyaan, apakah kegandrungan pada jargon Syariah itu merupakan bagian dari bangkitnya paham radikal di Sumatra Barat kontemporer? Secara akademis, masih terlalu dini memang untuk menyimpulkan demikian, lantaran sedikitnya studi mengenai topik ini. Namun gejala menguatnya organisasi-organisasi berpaham ekstrem, telah dianggap sementara pengamat sebagai indikasi dari kemunculan radikalisme agama itu. Hal ini pada gilirannya membuat provinsi Sumatra Barat tercitra sebagai provinsi radikal paham keagamaannya di mata sebagian pengamat.
Meskipun tokoh-tokoh agama di Sumatra Barat membantah anggapan itu, satu penelusuran mengenai Gerakan Islamis di Sumatra Barat yang dipublikasi di Jurnal Miqot pada 2014 cukup memberikan gambaran adanya potensi tersebut. Beberapa indikasinya adalah pertumbuhan 0rmas berhaluan keras seperti FPI, KPSI, dan HTI di provinsi Sumatra Barat yang konsisten mendesak pemerintah daerah menegakan hukum syariah melalui Perda Syariah.[1] Selain melalui jalur struktural dengan mendesak pemerintah daerah melahirkan Perda Syariat Islam, kelompok-kelompok ini juga kerap melakukan aksi masa secara terbuka menolak berbagai praktik yang dinilai maksiat, dan menolak keras sejumlah proyek pembangunan yang mereka tuding bernuansa kristenisasi. Dalam realitasnya, dinamika politik di provinsi Sumatra Barat kontemporer memang kental diwarnai kecenderungan bersyariah itu. Terbaru, ini misalnya tampak dari wacana wisata halal, dan anti LGBT yang dicetuskan pemprov maupun legislatif.
Sisi Paradoks Orang Minang
Memang terkesan paradoks dan kontradiktif apabila melihat kenyataan, hasrat bersyariah itu menguat selagi Sumatra Barat tercatat sebagai provinsi dengan peredaran narkoba tertinggi maupun angka populasi LGBT terbanyak di Indonesia. Pada Juli 2018 lalu antaranya, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat membeberkan data, sebanyak 66.612 orang di Sumbar tercatat terlibat dalam penyalahgunaan narkoba baik kategori coba pakai, teratur pakai maupun pecandu. Sementara populasi telah mencapai 18.000 orang berdasarkan data hasil tim konselor penelitian perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang dirilis di sejumlah media nasional.
Fakta itu berbarengan pula dengan nilai minus di bidang toleransi berdasarkan survey sejumlah lembaga. Pada 2013, misalnya, survey kebebasan beragama yang dilakukan Elsam menempatkan Sumatra Barat sebagai propinsi terburuk di bidang penegakan toleransi[2]. Pada masa berikutnya, 2018, Setara Institute dan Balitbang Kementrian Agama RI juga meletakan Sumatra Barat dalam zona intoleransi yang mencemaskan.
Tentu banyak faktor yang bisa menjadi penyebab munculnya situasi itu. Namun ditinjau dari kacamata sejarah budaya, kegandrungan pada embel-embel syariah itu bagaimanapun dilatarbelakangi pula oleh mitos tentang Minang Islam yang diwariskan sejarah imajinatif dari generasi ke generasi. Sejalan dengan waktu, mitos itu menumbuhkan ego kawasan yang tidak produktif bagi Islam dan budaya Minang itu sendiri. Dalam banyak hal, malahan membuat orang Minang tampak paradoks (kalau tak boleh dibilang takabur), karena sikap reaksioner dan respons keagamaan mereka serba bertentangan dengan pendapat ulama kebanyakan di Indonesia.
Contoh terupdate adalah penolakan MUI Sumbar terhadap wacana Islam Nusantara pada 2018 lalu. Tanpa melalui pemeriksaan yang cermat terlebih dahulu, mereka menyatakan menolak Islam Nusantara, karena katanya Sumatra Barat tidak membutuhkan. Padahal, kita tahu wacana Islam Nusantara itu merupakan ungkapan lain dari penerimaan sejarah budaya kita atas kemajemukan, yang telah memperkaya ekspresi keislaman, dan menjadi penopang dari keberlanjutan eksistensi agama Islam itu sendiri hingga Islam masih menjadi bagian dari hidup masyarakat kita saat ini. Tak kecuali di ranah Minang. MUI Sumbar itu pasti lupa, kalau Islam di bawa ke ranah Minang memakai cara Nusantara, yakni dengan menggunakan bahasa Arab Melayu, menggunakan sarana pendidikan warisan pra Islam (surau), falsafah dan ritual-ritual lokal, hingga bisa mendapatkan tempat di hati masyarakat. Mengingkari wacana Islam Nusantara itu, dengan sendirinya mengingkari sejarah budaya selain menunjukkan kurangnya kearifan dalam menerima apa yang seharusnya menjadi milik bersama.
Tetapi perasaan takabur akibat ego kawasan rupanya telah mengalahkan akal sehat di Sumatra Barat. Konsekuensinya, sikap dan tindakan keagamaan mereka menjadi serba paradoks dan kontradiktif. Di satu sisi mereka menolak kebijakan MUI pusat dengan alasan membela ‘kemurnian’ agama, namun pada saat yang bersamaan mereka mengabaikan fakta-fakta negatif yang menunggangi agama untuk kepentingan non agama.
Akal sehat kita pasti sulit menerangkan, mengapa MUI Sumbar justru lebih tertarik menolak anjuran Depag untuk sosialisasi pengaturan pengeras suara masjid, ketimbang merespons hoaks yang merajalela di media sosial, misalnya? Mereka mempersalahkan banyak hal yang menurut akal sehat kita bukan soal yang perlu dipersoalkan. Namun mungkin karena merasa diri cukup dengan wawasan keislamannya, sekalangan cendekia agama itu terkesan menolak apa saja yang datang dari luar Sumbar. Kendatipun gagasan itu berasal dari kalangan seiman-seagama, sama-sama cendekia, dan punya integritas keilmuan serta reputasi keagamaan yang tidak diragukan lagi.
Sumbar memang sedang sial, keluh mantan ketua umum Muhammadiyah, Buya Syafi’i Maarif dalam sebuah opininya, ketika ia mengeluhkan hilangnya apa yang ia sebut “otak besar Minangkabau” dalam dinamika kontemporer masyarakat Sumbar hari ini. Sisa-sisa otak besar Minangkabau sekarang lebih memilih profesi, seperti dokter, pengusaha, pejabat negara dari pada menjadi pemikir-pejuang-petarung… Orang Minang kini suka sekali berburu kekuasaan. Bukan untuk mengabdi, tetapi sebagai mata pencarian, ungkap Buya kelahiran Sumpur Kudus itu dengan lantang. Walaupun keluhannya itu bersifat umum, namun tak syak lagi, respons-respons MUI Sumbar yang paradoks dan kontradiktif sebagaimana digambarkan di atas, makin menguatkan pandangan Buya Syafi’i Maarif itu, bahwa hilangnya tradisi berpikir yang jernih telah meliputi hampir keseluruhan aspek kehidupan masyarakat Minang. Tak kecuali ulamanya.
Padahal, kaum ulama adalah satu “otak besar” dalam budaya Minangkabau. Walaupun belum ada kesepakatan resmi kapan Islam mulai bercokol di wilayah ini, namun kiprah ulamanya sudah terdengar sampai ke luar Sumatera sekurang-kurangnya sejak abad 16 CE. Dari abad perdagangan bahari ini, yang paling terkenal tentulah tiga orang ulama, yakni Datuk Ribandang, Datuk Patimang dan Datuk Tiro yang menurut tutur rakyat dan juga sumber-sumber tertulis di Sulawesi Selatan telah mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo pada akhir abad 16 CE. [3]
Hingga awal pergerakan nasional, ulama-ulama asal Minangkabau dikenal karena keterbukaan pikiran dan visi kemasyarakatan yang besar bagi ide-ide kemajuan dan kebaruan.
Mitos Purifikasi
Memang tak dipungkiri, dinamika Islam di ranah Minang tidaklah berjalan linear sebagai arus moderat. Terdapat beberapa episode sejarah yang ambigu, dengan sisi hitam dan putihnya. Salah satu yang terkenal adalah gerakan Padri yang melahirkan perang saudara di Minangkabau abad 18 CE. Menurut Buya Hamka, itu adalah gerakan pemurnian akidah yang pertama di Asia Tenggara, yang kemudian berubah menjadi perang melawan kolonial Belanda. Pandangan ini banyak diikuti oleh akademisi Islam Indonesia kontemporer, antara lain oleh Haedar Nasir yang menegaskan gerakan Padri Sumatra Barat memang berwatak puritan[4]. Ia menyatakan gerakan purifikasi yang melekat dengan perjuangan Padri dan Islamisasi di Minangkabau memiliki keterkaitan dengan paham Wahabi yang memang kuat di Minangkabau. Cirinya adalah cenderung keras dalam memberantas sirik, tahayul, bidah, dan khurafat. Namun kecenderungan keras dalam keagamaan selalu didorong oleh faktor yang bersifat kompleks, baik eksternal dan internal yang berperan mendorong pertumbuhannya.
Ia mencatat, purifikasi Padri itu telah ditopang oleh empat aspek. Pertama, orientasi paham Wahabi yang memang berkarakter puritan dan lebih keras. Kedua, kondisi sosiologis masyarakat Minangkabau yang dipandang tidak sejalan dengan paham keagamaan yang tidak menghendaki praktik sirik, khurafat, bidah, dan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ketiga, watak hegemoni kekuasaan dan gerakan di mana pun yang bersifat ekspansionistik, lebih-lebih yang bersenyawa dengan misi keagamaan yang bersifat puritan. Keempat, yang sifatnya lebih luas dan struktural, yakni perlawanan terhadap penjajah yang sifatnya hidup-mati dan memerlukan mobilisasi sosial-politik yang besar-besaran.
Aspek puritanisme tentulah bukan satu-satunya sudut pandang dalam melihat gerakan Padri di Minangkabau. Sementara yang lain berfokus pada sisi ekspansionis dan radikal dari gerakan itu, Christine Dobbin (Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847[5]) malah memandang dalam konteks “perebutan sumberdaya ekonomi”. Menurut Dobbin, perniagaan bebas yang berlangsung di Sumatra Tengah terganggu oleh monopoli Belanda, yang akhirnya mendorong masyarakat Sumatra Tengah mendukung perlawanan kaum Padri untuk mendapatkan kembali kebebasan perniagaan itu.
Ada banyak bahasan dari banyak pensyarah dan peneliti dengan ragam sudut pandang mengenai gerakan yang dimulai oleh kepulangan tiga orang Haji Minangkabau dari Tanah Suci pada tahun 1803 ini. Namun sisi kontemplatif dan paling dramatis dari gerakan Padri Minangkabau justru muncul di akhir episode ketika Tuanku Imam Bonjol, seorang pemimpin gerakan Padri yang paling populer, menerbitkan memoar yang berisi penyesalan akibat kekerasan tak terkendali dan kerusakan yang ditimbulkan gerakannya selama perang Padri. Ini adalah sumber primer dari pelaku sendiri mengenai Perang Padri dan pernah diterbitkan pada 2004 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang dengan judul Naskah Tuanku Imam Bonjol.[6]
Sayangnya, sisi penyesalan itu tidak menjadi fokus dalam buku pelajaran sekolah mengenai perang Padri. ‘Kepentingan nasional’ untuk mengeksplorasi semangat anti penjajah, membuat kebanyakan narasi tentang perang Padri lebih menekankan aspek militer ketimbang aspek religius. Konsekuensinya, agresivitas dan kekerasan yang menjiwai gerakan Padri jadi seakan mendapat pembenaran. Di masa Orde Baru, seperti kita tahu, Imam Bonjol menjadi pahlawan nasional, nama jalan dan bahkan Universitas Islam di Sumatra Barat. Pewarisan narasi sejarah seperti itulah yang mendasari penerimaan masyarakat Sumbar atas gerakan Padri hingga masa ini, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap corak keagamaan yang kemudian berkembang di Sumatra Barat, terutama dalam keberlanjutan mitos “Minang Islam”.
Para pengkaji sejarah, antara lain Taufik Abdullah, telah memandang perang Padri sebagai “batas sejarah” Minangkabau yang mengakhiri diktum adat alam[7]. Pendapat itu mengandaikan, selepas gerakan Padri, sejarah budaya Minang bergerak tanpa ada suatu kuasa budaya yang memainkan peranan dominan. Maka budaya Minang sejak periode ini sesungguhnya merupakan proses kompromi antara kepentingan kolonial (yang setengahnya merepresentasikan modernisme Barat), kepentingan adat, dan agama.
Menjadi menarik dikaji, karena di tengah dinamika yang serba kompromis itu, imajinasi tentang purifikasi ternyata tetap bertahan di Sumatra Barat, yang belakangan lahir kembali sebagai corak umum wawasan agama masyarakat ini. Gejalanya sudah muncul sejak masa Orde Baru, ketika sekalangan ulama asal Sumatra Barat mempelopori penolakan atas azas tunggal Pancasila[8]. Pada tataran realitas, penolakan itu diekspresikan melalui kecaman pada beberapa proyek investasi yang dituduh bernuansa kristenisasi.
Isu kristenisasi ini kemudian menjadi lokus penting dalam wacana keagamaan di Sumatra Barat, yang hakikatnya merupakan kanalisasi atas ketidakberdayaan menentang rezim Orde Baru. Namun setelah Orde Baru berganti, isu ini berkembang menjadi phobia budaya dan menjadi mainan politik karena masih ampuh untuk menggerakkan emosi massa. Mengapa bisa demikian? Jawabnya cukup sederhana; karena orang Minang memerangkap dirinya dalam mitos purifikasi Minang Islam yang belakangan disinyalir menguat lagi akibat masuknya paham transnasional yang berkembang melalui partai dan ormas-ormas berbendera Islam.
Media Sosial dan Pemilu
Sebetapapun dibantah, purifikasi terus berlangsung sebagai bagian dari irama hidup kontemporer di Sumatra Barat. Tak jauh berbeda dengan gejala purifikasi budaya dan agama yang kini tengah melanda beberapa wilayah di Indonesia, orang Minang pun harus melepaskan otak besarnya demi angan purifikasi itu. Khususnya otak besar berupa kearifan dan kejernihan berpikir sebagaimana telah ditunjukkan para ulama dan cendekia terdahulu.
Namun yang lebih menggelisahkan banyak kalangan, kini mitos itu meluas melalui media sosial. Ini terutama terjadi dalam masa pemilu 2019 lalu. Massifnya penggunaan media sosial di Sumatra Barat, ternyata diikuti oleh massifnya penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian. Menurut data Polda Sumbar, selama proses Pemilu 2019 lalu, ada 3000 informasi bohong alias hoaks yang beredar, tak kecuali di Sumatra Barat terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) 2019. Panasnya iklim politik akibat kompetisi para kontestan pemilu, telah membuka peluang bagi penyebarluas berita hoaks tentang agama[9]. Sejumlah orang telah diproses hukum berkaitan dengan hoaks ini, sementara sejumlah deklarasi anti hoaks juga dilakukan berbagai elemen masyarakat. Fenomena ini membuktikan penggunaan media sosial yang keliru merupakan salah satu masalah sosial budaya yang menonjol pada masa kini. Tak kecuali di Sumatra Barat.[]
Jakarta, Juni 2019
Penulis adalah deklarator Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) dan peneliti senior di CEDEP President University. Lahir di Sumatra Barat, menekuni puisi dan bergiat di bidang budaya. Buku kumpulan esainya, Suaka-Suaka Kearifan terbit 2019.
[1] Zainal, Gerakan Islamis Di Sumatra Barat Pasca Orde Baru, MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014,
Comments