Mencontoh ke Masa Lalu, Masihkah Relevan?
Dra. Hj. Imnati Ilyas, BA., S.Pd., M.Pd., Kons. Sandwich Visitor Doctorate program October 2009-February 2010 Ohio State University, Columbus, USA
International Visitor Leadership Program of USA Goverrment
on Grassroots Democracy , 31 April-25 Mei 2005 (3)
Mencontoh ke Masa Lalu, Masihkah Relevan?
Oleh Shofwan Karim
Tiba-tiba saja seorang ibu di sebelah saya buka pembicaraan. Memang menegangkan, tetapi menyenangkan, katanya. Tampaknya ia mau mengatakan sesuatu lebih banyak tetapi tiba-tiba ada pengumuman dari krew pesawat yang akan menerbangkan kami dari San Francisco ke Minneapolis, kota transit sebelum meneruskan ketibaan di tujuan sebenarnya bagi saya , Washington, DC, ibukota negara yang mengambil nama bapak Amerika George Washington ini.
Kami minta maaf , karena pesawat kelebihan berat, maka diminta dengan sukarela 12 penumpang untuk pindah ke penerbangan berikutnya.
Untuk mereka yang menerima tawaran ini, disediakan tunjangan khusus harga yang sangat murah potongan harga 80 % terbang ke Mexiko dan Kanada. Berkali-kali uncapan maaf dan kurang menyenangkan disebut oleh NWA. Belakangan, ketika pesawat terlambat sampai di Minneapolis, kami semua juga diberikan diskon $ 35 untuk setiap pembayaran $ 200 bila terbang lagi dengan NWA kali berikutnya. Ini tampaknya sebagai konpensasi delay penerbangan kami yang hampir 1 jam itu.
Apa maksud anda, kata saya melihat kekiri.
Ya, sudahlah pemeriksaan darat sebelum terbang yang ketat, lalu pesawat di delay, namun ada penggantian yang wajar. Rupanya itu hanya sebagai pembuka kata saja bagi sang ibu umur 55 tahun Desember besok. Nenek seorang cucu yang mengaku telah 22 tahun menjadi perawat tak henti bicara. Maaf, katanya, saya kebiasaan ingin bicara karena begitu diajarkan dan saya praktikkan dalam tugas terhadap pasien-pasien, katanya. Pengakuan yang jujur ini menyentak kesadaran saya.
Kalau di negeriku, perawat hanya perpanjangan tangan dokter. Karena itu bila dokter tidak meminta bicara dengan pasien, maka perawat kita irit bicara. Padahal bicara yang baik, tentu bukan dengan muka masam, adalah obat penenang sebelum obat sebenarnya diminum, ditelan atau di usapkan ke tubuh.
Bukan diskusi itu yang menarik pikiran saya tetapi soal terbang. Rupanya di mana pun soal penundaan keberangkatan dan ketibaan pesawat terbang terjadi di mana-mana .
Tahun lalu dari London ke Mesir penerbangan kami di delay 1 jam karena hujan lebat sehingga tak bias terbang. Tetapi tidak ada penggantian atau pelipur lara. Mungkin karena itu kasusnya berbeda atau kah karena maskapai penerbangannya yang lain sama sekali.
Penerbangan domistik di negeri kita juga sering mengalami penundaan-penundaan. Tetapi hanya diminta kepada penumpang kesabaran. Syukur kalau masih dimumumkan, kadang-kadang tidak ada sama sekali info, kecuali penumpang tanya ke sana kemari.
Budaya bisnis, ataukah etika bisnis ? Ini persoalan nilai instrumental ataukah soal filosofis fundamental masyarakat yang sedang dalam kemajuan atau sedang berusaha untuk maju?
Banyak amat yang perlu ditelusuri, kalau kita benar-benar mau berubah ke arah yang lebih maju, modern dan setara dengan bangsa-bangsa lain yang kini sedang di puncak peradaban. Atau kita tidak usah melihat ke mereka yang di Barat ini.
Baik juga kalau menolah ke masa jaya peradaban Islam periode tahun 800-1000 M Daulat Abbasiyah. Maambiak contoh ka nan sudah mancaliak tuah ka nan manang. (Mengambil contoh ke yang sudah dan megambil tuah kepada yang menang). Pada lebih kurang 10-11 abad lalu dunia Barat dalam kegelapan, dunia Islam dalam kemajuan. Zaman ilmu pengetahuan berada di tangan umat Islam. Pergulatan ilmu kalam atau sekarang disebut teologi telah meletakkan kerangka teori akidah .
Debat, diskusi, tulisan dan fatwa syari’at dalam wacana dan aksara telah meletakkan teori fikih empat mazhab utama yang sampai hari ini terus menjadi ikutan. Ilmu yang sekarang disebut sekuler baik sains murni maupun terapan, sosial, hukum, teknologi dan filsafat sampai ke puncaknya di dunia Islam. Sekarang dunia barat telah mengambil untung sebesar-besarnya setelah kekalahan Dinasti Abbasiyah di jantung dunia waktu itu, Baghdad.
Ah, jangan lagi kita menjadi penganut romantisisme.
Merindukan masa lalu sebagai sesuatu yang hebat tetapi tidak berbuat apa-apa. Itu namanya mengkhayal ataukah takhayul modern ?. Tetapi sebagai melecut semangat dan tanda syukur bahwa di satu zaman yang panjang jauh di masa lalu, pernah kemauan Tuhan bertemu dengan kemauan manusia yang berikhtiar dan mengenjot akal pikiran dan keringat dengan amat kerasnya. Sehingga di situ telah berlaku nilai-nilai takdir yang optimal dalam hidup bukan menyerah kepada nasib tanpa otak, keringat dan usaha yang optimal. Sesuatu yang perlu menjadi pilihan di antara pilihan filosofis, idealis dan praktis- pragmatis. ***
Comments