Casablanca Dar al-Baidha (3)










Dari Maroko (3):  Casablanca atau Darul Baidha’

Oleh Shofwan Karim

 Abdul Salam membawa penulis dan Dr. Said Khaled El-Hassan dari Bandara ke Kota. Kelihatan sekali bahwa budaya Arab dan Eropa, terutama Perancis mendominasi.  Bangunan hampir tidak ada yang bertingkat mencolok tinggi. Paling tinggi hanya bertingkat 6. Persis pemandangan bangunan di kota-kota Perancis, Italy dan Spanyol. Semua tulisan penunjuk jalan, merek toko, iklan dan nama kantor serta pengumuman dan infomasi terdiri atas dua bahasa: Arab dan Perancis.
Maroko, atau Morocco, berasal dari sebutan awal Bahasa Arab, al-Maghribi, bermakna barat. Negeri berpenduduk 30 juta jiwa ini mempunyai  pendapatan perkapita dua kali Indonesia atau 5 ribu dollar US pertahun. Kota dan wilayah yang terkenal adalah Casablanca, sebagai kota ekonomi, dagang dan wisata. Kota ini berpenduduk sekitar 4 juta orang. Kota kedua adalah Rabat, ibukota kerajaan Maroko yang berpenduduk 2 juta jiwa. Kota lain Fez, Tangier dan Marakesh adalah kota-kota budaya dan pendidikan.
Di luar itu sebagai wilayah yang terletak paling barat dan belahan  utara Afrika ini adalah  hidup dari hasil laut karena pertemuan laut Mediteraniia dan Lautan Atlantik. Menelusuri Casablanca, terasa lebih menggelitik ketika melewati wilayah pantai. Warna lautnya  nan  bercampur hijau dan  biru serta kuning lembut dan putih berkilauan bagai mutiara indah  sesayup mata memandang.
Di bibir pantai ada dua koridor jalan yang cukup lebar .  Satu untuk para pejalan kaki yang bebas hambatan dan dipagar rendah sebatas lutut. Dua, kemudian jalan lebar untuk kenderaan. Baru di balik jalan pantai ada bangunan resto , hotel, café, dan club-club serta ruang terbuka untuk berbagai atraksi dan hal.
Asal kata  Casablanca adalah juga terjemahan dari julukan awal kota ini dalam Bahasa Arab yang disebut Darul Baidha’ . Karena orang Perancis yang lama dulu menguasai wilayah ini maka mereka menyebutnya Casablanca. Dua kata itu  Darun dan Casa artinya rumah, tempat, kampung, atau negeri. Baidha’ atau blanca berarti putih.
Menurut beberapa sumber kata ini dipakai karena menunjukkan dua hal. Di antaranya karena gedung dan bangunan di sini sejak dulu disukai warganya dominan berwarrna putih. Lebih dari itu, secara filosofis, warga masyarakat dan warga kota diharapkan memiliki hati yang putih, bersih dan suci. Dengan begitu setiap pengunjung, para wisatawan  juga berhati putih, bersih, jernih dan tidak mempunyai niat yang berwarna lain dalam hidup dan kehidupan dalam keseharian berada di dalam kota ini.
Di dalam “common-ground” kerangka pemahaman umum dunia, Casablanca merupakan tempat kunjungan wisata yang khusus dan  romantik.  Keadaan itu ditopang oleh  penataan kota yang rapi dan indah. Penulis menanyakan hal ini kepada Said, apa rahasianya  kota bisa ditata baik dan indah. Apakah tidak menghadapi hambatan yang sulit dan bermacam-macam dari warga kota. Teman penulis kelahiran Libanon, dan sudah menjadi warga Maroko sejak 1991 ini mengatakan karena Maroko dipimpin oleh Raja. Kalau Raja melihat ada pembangunan yang tidak lancar, maka administrator kota, wali kota atau pemimpinan wilayah itu segera dipecat. Apa itu tidak demokratis ?, kata penulis.
Said yang menyelesaikan Doktornya di bidang ilmu politik itu, mengatakan, bahwa setelah dia mengkaji secara dalam, system pemerintahan demokrasi yang didengung dengungkan dan  dipasarkan Barat ke dunia Islam tidaklah semuanya tepat. Karena demokrasi itu terlalu mengagungkan  suara rakyat. Bahkan ada istilah suara rakyat adalah  suara Tuhan. Pada hal suara rakyat itu selalu ditunggangi oleh orang-orang yang mengatasnamakan rakyat. Mereka bahkan selalu saja tidak menyuarakan kepentingan rakyat tetapi bagaimana mempertahankan kekuasaannya dengan memanipulasi suara rakyat. Apa yang rakyat butuhkan beda dengan apa yang mereka butuhkan. Jadi slogan  suara rakyat adalah suara Tuhan belum pernah membuktikan makna yang sebenarnya.
Saya, kata Said lebih senang menggunakan istilah Tanmiyat an-Niyabi atau penyusunan kehidupan melalui nizam atau undang-undang dan aturan hukum. Di dalam praktik umum di Maroko, kalau Raja melihat aturan hukum tidak jalan, dan pembangunan kota macet, maka Raja akan langsung memberhentikan penguasa setempat karena tidak becus mengurus dan mengelola administrasi dan pembangunan kota. Raja sering keliling kota dan desa. Maka bila dia lihat ada ketimpangan aturan dan pembangunan, misalnya sebut yang sederhana jalan yang ditempuhnya buruk, maka Raja akan menyuruh orangnya menegur penguasa setempat dan kalau tak diperbaiki akan diberhentikan.
“Kalau begitu tidak demokratis? Apa tidak ada Pilkada?” Kata penulis. Ada pemilihan untuk legislative tetapi bukan untuk kepala daerah. Ini baik untuk kesejahteraan. Dan said, mengatakan dirinya tidak percaya dengan istilah demokrasi itu. Dia kembali mengatakan, bahwa kalau akan dipakai juga istilah demokrasi , maka bagi dirinya itu bermakna penegakan aturan tanpa perlu embel-embel. ***(Bersambung)    









Dari Maroko (4): Sambutan Hangat Keluarga

Oleh Shofwan Karim

Sambutan hangat, menyentak hati. Ada dua pasang suami isteri berdiri ceria di ruangan  tamu bangunan rumah klasik bernuansa campuran Arab  dan Mediterania mengucapkan “ahlan wa sahlan”.  Sebuah keluarga yang kelihatannya amat intelek, hidup berkecukupan dengan amat ramah menyalami penulis dan Dr. Said Khaled El-Hassan. Tuan rumah Dr. Bashil,  CEO sebuah koporate ahli teknik sipil,  langsung bersalaman dan memeluk penulis. Sementara isterinya Dr. Salma, instruktur pada sebuah polektinik mengulurkan tangannya sambil senyum.   Di situ sudah ada dua  orang lainnyya, sepasang suami isteri peserta workshop  dari Mesir. Rupanya Dr. Muhammad Al-Amin dan Dr. Saidah Al-Mayssoon sudah mendahului penulis mendarat 2 jam sebelumnya sore itu. Kedua mereka adalah dosen di  Universitas Al-Azhar di Mesir. Yang pertama adalah pakar biologi dan yang kedua adalah pakar sosiologi dan sekaligus aktifis dan ahli kajian gerakan wanita di Timur Tengah.
Rupanya pembicaraan tidak lama, karena sebelumnya, Said  memang mengatakan hanya menjemput 2 peserta itu lalu akan makan malam tanpa menyebut di mana tempat makan malam itu. Sesudah itu baru  berangkat dari Casablanca ke Rabat, kota tempat workshop  yang berjarak sekitar 100 kilometer dari tempat kami sekarang.
Untuk suasna yang satu ini kelihatannya pengaruh budaya Eropa minim sekali. Dalam budaya Eropa,  Amerika atau Barat secara umum, kalau akan malam malam di sebuah rumah keluarga pasti ada info terlebih dulu. Untuk kali ini, termasuk Said, kelihatannya juga tidak tahu. 
Sekretaris Jendral Konfederasi Buruh Islam Sedunia  pengundang dan menanggung semua tiket dan akomodasi penulis, mengembangkan kedua tangannya  turut mempersilahkan penulis setelah Dr. Bashil menunjuk ke meja bundar. Said sekali lagi menggerakkan kepalanya memberi tanda “ayo”, kettika melihat penuliis  ragu-ragu karena katanya tadi hanya 5 menit berhenti di sini dan hanya menyinggahi 2 peserta itu.
Di meja makan bulat besar, di kelilingi 4 kursi, tersedia beraneka macam ragaam penuh makanan. Salma, sang isteri menerangkan kepada penulis apa jenis makanan itu dan berasal dari tradisi mana. Nah , yang satu ini budaya Barat sudah masuk. Apalagi Salma begerak lincah seperti wanita modern barat. Memakai  celana panjang dan baju  sweater lengan panjang, mula-mula menunjuk cembung besar berisi daging dengan bumbu yang agak aneh bagi penulis.
Ada campuran saus warna coklat, bagaikan kalio daging di tempat kita, ada biji-bijian hitam, coklat dan hijau, kemudian tomat dan macam-macam lainnya. Ini, kata Salma adalah asli Maroko. Lalu ada sebuah wajan lebar untuk sayuran, jagung, tomat, cabe besar bulat hijau, kacang panjang, wortel, bayam, lobak, dan lainnya. Ini sayuran  Italy, katanya. Lalu ada risoles, dan katanya dari China, tetapi saya timpali bahwa risoles itu  juga dari Indonesia. Seterusnya Salma menerangkan semua makanan dan dari mana asal masakan itu.   
Ketika dia memasukkan semua jenis makanan itu dalam porsi sedikit sedikit, kecuali dagingnya yang banyak, saya terus terang saja mengatakn, stop. Nanti tidak habis. Perut saya ukurannya kecil. Dia tertawa bersama suaminya dan termasuk dua teman dari Mesir tadi. Salma mengatakan, kalau tidak habis tinggalkan  saja dipiring itu. Tidak apa-apa. Maka saya dengan tingkah agak kikuk memulai santapan ini. Ya, tentu rasanya campur-campur. Untung saja lidah  penulis sejak hampir 30 tahun ini berjalan ke berbagai Negara di dunia, sudah otomatis menyesuaikan. Kalau tidak, apa lagi muntah, maka tentu amat memalukan.
Gaya Eropa kembali terasa, ketika makan diselingi pembicaraan yang melebar ke mana-mana. Padahal sewaktu penulis kecil, ayah dan ibu selalu melotot kalau berbicara sambil makan. Itu tabo alias buruk dan tercela. Bashil terus bicara  menceritakan soal keluarganya. Anaknya yang perempuan Nadia, kelas 2  SMA, senang belajar matematika. Sementara adiknya Hisyam, yang masih SD usia 9 tahun suka sekali geografi atau  ilmu bumi.
Hampir semua kota di dunia dengan data-data singkatnya dikuasai sibungsu anaknya itu. Maka bila kami ingin tahu tentang satu Negara, kami bertanya kepadanya. Tetapi sayang dia pemalu, kata Bashil. Sementarra Nadia, mungkin relevan dengan kesukaannya matematika itu, tidak pemalu hanya lugas, terus terang dan amat kaku . Artinya, kalau lagi berdebat, susah sekali mengubah pendapatnya apa lagi  menyetujui jalan pikiran lawan bicaranya.   *** (Bersambung) 









Comments

Popular posts from this blog

Selamat Jalan Adinda Anwar Syarkawi

Flashback: Arah Angin Gub 2015-2020

HBD terbebas Rayuan Politik untuk Kekuasaan