Flashback: Arah Angin Gub 2015-2020
Komentar Singgalang :
Oleh Shofwan Karim
Sambil menunggu satu agenda, saya berdiksusi dengan Abdullah
Khusairi dan Hasril Chaniago. Menebak-nebak arah ingin Pilgub 2015-2020.
Menurut Heri (panggila akrab saya kepada anak muda ini), dia pernah
menulis Komentar Singgalang, Senin, (9/3/2015) tentang kesediaan Baharudin Raaban,
ikut bertarung.
Heri merespon berita Singgalang, Jumat (6/3). Baharuddin menyatakan kesiapan dirinya untuk menjadi
wakil gubernur. Baginya, jadi gubernur dan wakil gubernur adalah sama, yang
paling penting, dapat menawarkan segala bentuk pembangunan yang telah ia
perbuat di Pasaman Barat untuk dikembangkan di tingkat Provinsi Sumatera Barat.
Setelah saya lacak bagaimana yang lain, maka ada kesimpulan sementara.
Yang sanggup bertarung menjadi Gubernur secara penuh, hanya Muslim Kasim (MK),
Wagub sekarang dan Irwan Prayitno (IP),
Gubernur hari ini.
Sedangkan calon lain, siapapun yang beredar sekarang nama-namanya,
semuanya seakan satu koor dengan Baharuddin,
walaupun tidak seterus terang Bupati yang banyak pengalaman itu.
Sebutlah di antaranya Syamsu Rahim (SR), Nasrul Abit (NA), Shadiq
Pasadigoe (SP), Epyardi Asda (EA), Mulyadi (M), Taslim (T), Fauzi Bahar (FB),
Hendra Irwan Rahim (HIR), Romi Adam (RA), dan Suir Syam (SS).
Bukan tertutup kemungkinan lain dari nama-nama itu. Bahkan bisa ada
kejutan baru. Atau istilah lain, kuda hitam di saat pacu boko akan disorakkan.
Baik untuk Cagub atau Cawagub.
Detak hati saya (meminjam istilah Prof. Dr.Mestika Zed), para calon
lain tadi seakan seragam berniat kalau tak bisa jadi gubernur biar jadi wakil saja, antara lain karena
masih melihat arah angin.
Menurut beberapa hasil survei paling baru, IP masih memimpin. Disusul oleh SP dan MK. Suara untuk yang lain masih bertarung di
bawah 10 %.
Oleh karena itu, disebut atau tidak,
seperi Baharudin, karena keinginan untuk membangun Sumbar yang lebih maju tentu
tak ada salahnya menjadi Wagub saja.
Persoalannya sekarang, MK dan IP yang
seakan di atas angin itu kabarnya telah mempunyai pendekatan-pendekatan
intensif. Keduanya sibuk lobi kepada
siapa “cinta” politiknya berlabuh mendampingi
5 tahun ke depan. Ada yang langsung muka dengan muka. Ada pula yang
melalui “mak comblang ” (MC).
Konon, MC mulai bersemangat kasak-kasuk
memasang-masangkan Cagub dan Cawagub.
Maka disusunlah syarat dan rukun, tokoh,
takah, patut dan mungkin, bobot dan bebet, termasuk menghitung-hitung “pokok
alek” (bukan “pokok galeh”). Karena
dalam pikiran MC adalah wajar “bajalan baaleh tapak, malenggang babuah tangan”.
Bukan “money politics”, tetapi di dalam
demokrasi itu suatu modal dasar yang sulit dihindari dan bahkan tidak
mungkin. "Money is the mother's milk
of politics", sindir Jesse Unruh, politikus California, pada 1960-an. Artinya uang ibarat air susu ibu dalam
politik. Jadi istilah pokok alek di dalam demokrasi bukan barang baru.
Meskipun begitu, tidak semata-mata “pokok
alek” yang menentukan. Arah angin lain, kedekatan kepada rakyat “badarai”, dan
tayangan media kampanye di mana-mana juga menentukan.
Dulu ada kajian bahwa media hanya berperan
5 persen mempengaruhi prilaku pemilih. Tetapi belakangan dengan fakta beberapa
Caleg kemarin terpilih karena besarnya gelontoran “pokok alek” dan cara
mengelola pasangan media (media-partnert), terbukti cukup ampuh menjaring suara
besar-besaran.
Artinya, strategi dan kiat mengelola
“pokok alek”, bukan hanya jumlah yang menentukan. Maka ada calon sekarang yang
katanya siap menyirami rakyat dengan puluhan milyar rupiah, juga bukan jaminan
akan menang.
Bisa jadi calon kurang turun ke lapangan, tetapi ketika detik-detik akan menusuk di
kotak suara, yang terbayang di kepala
para pemilih adalah tokoh yang sehari-hari di lihatnya. Seperti lagu Dina
Mariana tahun 1980-an. Di dadaku ada kamu. Di dinding ada kamu. Di jalan ada kamu,
Di halte ada kamu. Di masjid ada kamu. Di TV ada kamu. Di koran ada kamu. Di
radio ada kamu. Di Facebook ada kamu. Di Tweeter ada kamu. Di mana-mana ada
kamu.****
Comments