Komunikasi Politik yang Jempol

Komunikasi Politik yang Jempol
Oleh Shofwan Karim

Partai Demokrat (PD) yang dideklarasikan bendirinya pada 17 Oktober 2002, semakin menarik untuk diamati. Kelincahan partai ini, kini mulai menggeliat. Hal itu merupakan  hikmah di balik beberapa musibah beberapa waktu lalu.

Musibah dimulai dari beberapa kader utamanya terjerumus ke lembah tuduhan korupsi. Kalah di Pemilu Legislatif dan tentu saja juga kalah karena tidak berhasil menempatkan calonnya menjadi calon Presiden dan akhirnya masuk koalisi Merah Putih, semua itu bukanlah musibah abadi.

Hari ini PD mulai dapat menegakkan kepala. Mulai menggeliat lincah. Kelincahan paling akhir adalah berhasilnya PD merumuskan alternatif  ketiga dalam buncah pro-kontra amandemen RUU Pilkada langsung oleh rakyat atau tidak langsung oleh DPRD.

Pilihan pertama tetap seperti 3 kali Pemilu 15 tahun terakhir, Pilkada langsung . Pilihan kedua diubah menjadi tidak langsung oleh DPRD. Yang ketiga, dan ini meskipun pilihan langsung, tetapi dengan syarat yang cukup ketat dan berbobot.

Maka dengan 10 syarat yang diajukan PD ini, saya cendrung mengatakan ini alternatif ke-3.

Kalau diringkas ke-10 syarat itu adalah : uji publik terhadap calon; efisiensi biaya; pembatasan kampanye; akuntabilitas dana; larangan politik sewa kenderaan partai; larangan kampanye hitam; larangan melibatkan birokrasi; larangan mencopot aparat pascapilkada; perbaikan penyelesaian sengketa;  terakhir pencegahan tindak kekerasan dan tanggungjawab calon terhadap pendukung. (Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2014).

Mengatakan ini alternative ke-3, perasaan saya tidak berlebihan. Oleh karena secara terbuka, media tidak pernah mengemukakan alasan yang sangat transparan alasan-alasan mempertahan alternatif 1 meneruskan yang sekarang, atau  mengubah menjadi tidak langsung.

Kecuali hakikat perdebatan itu adalah pada hak rakyat langsung bagi yang pro,  dan alasan efiensi serta menghindari korupsi bagi yang kontra. Bahkan ada legitimasi, bahwa hak-demokrasi seperti yang tertulis dalam sila ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah  kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan itulah yang berlangsung di masa Orba.

Maka kelincahan dan kemenangan demokrat sebenarnya terletak pada komunikasi politik.  Bagaimana PD mengolah sarut-marut perdebatan publik dan parlemen, bahkan pemerintah yang mengajukan RUU itu, menjadi komoditas informasi-komunikasi edukatif dan persuasif.

Di antaranya dengan merumuskan 10 syarat di atas tadi. Bahwa semua 10 syarat tersebut dapat diterima oleh semua pihak, rasanya tidak ada yang meragukan. Sehingga partai yang ingin Pilkada tidak langsung melalui DPRD, rasanya harus hormat dengan pendapat PD itu. Entoh, mereka juga berargumentasi dengan Pilkada via DPRD itu adalah untuk menghindari hal-hal yang dianggap negatif selama ini.

Faktor Presiden SBY sebagai figur sentral PD yang handal, cerdas dan berpandangan jauh ke depan sehingga 2 priode memimpin RI pasca-reformasi, tentulah sesuatu yang amat dipujikan dalam mengarahkan PD sehingga mengambil keputusan ini. Semua itu  tidaklah diragukan. Dan SBY patut dihormati sebagai tokoh komunikator politik dengan acungan ibu-jari jempol.

Bahwa komposisi suara di DPR RI menjadi berubah total menjadi 287 kontra 273 untuk tetap Pilkada  oleh rakyat, akan menjadi kenyaataan,  itu soal lain lagi. Apalagi kalau ada sekitar 20 orang anggota fraksi dari Parpol yang mbalelo dari keputusan partai, tentulah kita tunggu tanggal 25 September ini.

Kecuali RUU ini diserahkan kepada DPR RI 2014-2019 yang akan dilantik 1 Oktober  nanti. Maka semua akan menggantung. Kalau itu yang terjadi maka benarlah adagium, “di dalam politik tidak ada yang abadi, kecuali kepentingan” . ***










Comments

Popular posts from this blog

Selamat Jalan Adinda Anwar Syarkawi

Flashback: Arah Angin Gub 2015-2020

HBD terbebas Rayuan Politik untuk Kekuasaan